Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia – ISSN : 2541-0849

            e-ISSN : 2548-1398

            Vol. 2, No 11 November 2017

 

 


PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN CREATIVE PROBLEM SOLVING  UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR

 

Halimah Tussaadiyah

SMK Negeri 2 Bogor

Lim.kotto@gmail.com

 

Abstrak

Penelitian ini dilakukan berawal dari kondisi rendahyna pencapaian nilai akhir peserta didik dalam pembelajaran yang menyebabkan perlunya kepekaan seorang guru untuk menggunakan suatu model pembelajaran yang dapat memicu peserta didik untuk lebih aktif dalam proses pembelajaran. Fenomena ini harus dipahami sebagai sebuah usaha  untuk menerapkan model pembelajaran dengan mengoptimalkan peran siswa secara penuh. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa dengan menggunakan penggunaan model pembalajaran Type Creative Problem Solving dalam pembelajaran membuat peserta didik tidak jenuh, Sebaliknya merasa senang sehingga aktifitas belajar mereka meningkat. Hal ini terbukti pada siklus I ada 55,55% atau 20 peserta didik yang aktif, 22,22% atau 8 peserta didik yang cukup aktif dan 22,22% atau 8 peserta didik yang kurang aktif pada saat pembelajaran. Setelah guru memperbaiki hasil refleksi pada siklus I maka pada siklus II didapat 80,55% atau 29 peserta didik aktif pada saat pembelajaran dan 19,45 atau 7 peserta didik yang cukup aktif saat pembelajaran serta 0,00% atau tidak ada peserta didik yang tidak aktif pada saat pembelajaran. Hal tersebut memiliki pengaruh terhadap peningkatan hasil belajar. Model pembelajaran Type Creative Problem Solving dapat menigkatkan nilai—atau dalam artian hasil belajar—siswa pada materi Thyristor di Kelas XI EB semester 1 SMK Negeri 2 Kota Bogor dengan menggunakan model pembelajaran Type Creative Problem Solving.

 

Kata Kunci: Creative Problem Solving, Hasil Belajar

 

Pendahuluan

Pendidikan merupakan upaya manusia untuk memperluas pengetahuan dalam rangka membentuk nilai, sikap dan perilaku. Setiap insan pada dasarnya membutuhkan yang namanya pendidikan, dimana pun dan kapan pun. Manusia akan sulit berkembang bahkan terbelakang tanpa adanya pendidikan. Dengan kata lain, merujuk dari hal di atas, dapat disimpulkan bahwa, sebuah pendidikan haruslah dapat membentuk manusia yang berkualitas, lebih mampu bersaing serta berbudi pekerja baik. Pendidikan di sekolah tidak dapat lepas dari proses pembelajaran dan interaksi antara guru dan peserta didik. Proses belajar yang unggul adalah proses belajar yang melibatkan peran pendidik yang profesional dan mumpuni di bidangnya. Dalam pelaksanaannya, guru tidak hanya berperan sebagai pendidik saja, melainkan juga harus dapat menjadi pemimpin dan administrator yang mampu memberi pelayanan pada peserta didik dengan berpedoman pada kesadaran (awareness), keyakinan (belief), kedisiplinan (discipline) juga tanggung jawab (responsibility) secara optimal. Model mengajar yang dipakai oleh guru akan berpengaruh juga terhadap cara belajar peserta didik yang mana setiap peserta didik mempunyai cara belajar yang berbeda satu dengan lainnya.

Pemahaman konsep adalah pijakan awal yang diambil untuk melangkah pada tahap selanjutnya yaitu aplikasi dalam pembelajaran produktif Penerapan Rangkaian Elektronika. Namun tidak sedikit siswa yang kurang menguasai  konsep dari materi yang diajarkan. Hal ini diakibatkan oleh tidak efektifnya model pembelajaran yang digunakan. Pada umumnya, model pembelajaran yang dikembangkan guru produktif dalam kegiatan belajar mengajarnya adalah model pembelajaran konvensional yang lebih banyak mengandalkan ceramah, dimana peserta didik hanya ditempatkan sebagai obyek. Pembelajaran seperti itu membuat peserta didik menjadi pasif dan tenggelam ke dalam kondisi belajar yang kurang merangsang aktifitas belajar yang optimal. Model pembelajaran sendiri adalah pendekatakan pembelajaran, yang dimana, pendekatakan ini dilakukan untuk proses perubahan siswa pada arah yang lebih baik. Model pembelajaran sendiri berkaitan erat dengan gaya belajar siswa dan gaya mengajar pendidik (Hanafiah dalam Suhana, 2009). Model pembelajaran yang dapat digunakan adalah model  pembelajaran Type Creative Problem Solving. Sebagaimana diketahui bahwa pada umumnya dalam pembelajaran produktif Penerapan Rangkaian Elektronika yang menjadi perhatian guru adalah peserta didik yang memiliki kemampuan tinggi, sedangkan peserta didik dengan kemampuan rendah kurang memperoleh perhatian. Oleh sebab itu, penerapan model  pembelajaran Type Creative Problem Solving    akan dapat mengakomodasi keinginan peserta didik untuk diperhatikan dan diberi kesempatan menunjukkan potensi-potensi kemampuan yang dimilikinya termasuk kemampuan kreatif dan pemecahan masalah dalam pembelajaran produktif Penerapan Rangkaian Elektronika.

Creative Problem Solving sendiri adalah model pembelajaran yang memusatkan kegiatan belajar pada keterampilan pemecahan masalah siswa. Proses pemecahan masalah sendiri tidak berhenti pada masalah yang telah diselesaikan, namun lebih kepada peningkatan keterampilan berkat pola pemecahan masalah tersebut (Tenysan dalam Wasis: 1999). Pada konsep ini, sebagaimana yang telah disampaikan oleh Amir Suyitno (2000), pemecahan masalah tidak hanya dilakukan pada penyelesaian soal yang secara jelas telah diketahui cara penyelesaiannya. Pemecahan  masalah yang dimaksud disini adalah pemecahan masalah yang dilakukan dengan kekuatan pikiran asli manusia, yang dimana, dalam proses pemecahan masalah tersebut, peserta didik dituntut untuk menyelesaikan masalah yang belum diketahui jalan keluarnya.

Dalam pandangan yang berbeda, Creative Problem Solving juga dikatakan sebagai treffinger. Huda (2013) mengungkapkan bahwa model pembelajaran ini dengan treffinger merupakan dua buah model pembelajaran yang memiliki kesamaan. Lebih lanjut, Huda juga menambahkan bahwa model pembelajaran ini memungkinkan siswa untuk dapat berpikir kreatif dan cekatakan, untuk kemudian mereka diarahkan dalam konsep pemecahan masalah.

Pada hakikatnya, berpikir kreatif adalah salah satu cara untuk menyelesaikan masalah—baik itu dalam konsep pemecahan masalah maupun kesehariannya. Dalam pandangan Noller (yang tercantum dalam Suryobroto: 2009), solusi kreatif merupakan upaya yang dilakukan dengan sikap dan pola berpir kreatif serta taktis, terbuka dalam kebaikan perbaikan dan mampu serta berani menyampaikan pendapat.

Secara lebih jelas, Shoimin (2014) memiliki karakteristik yang melibatkan kognitif dan afektif. Proses tersebut berjalan, dan/atau dilakukan pada setiap tahapan model pembelajaran. Hal serupa juga diutarakan oleh Sarson (dalam Huda: 2013). Menurutnya, karakteristik yang lebih dominan disini adalah dimensi kognitif dan afektif siswa, yang dimana, dimensi terkait dengan kegiatan siswa untuk mencari arah penyelesaian.

Kondisi di lapangan setelah dilaksanakan test awal mata pelajaran Jaringan Dasar tentang secure shall dan  KKM yang telah ditentukan  75, dari hasil analisis diketahui bahwa, siswa dengan nilai di atas KKM sebanyak 9 Orang (25%) dan di bawah KKM 27 Orang (75%) dengan nilai rata kelas 70. Hal ini disebabkan karena guru ketika mengajar tentang menerapkan Penerapan Rangkaian Elektronika dengan materi Thyristor masih konvensional yang selalu menggunakan  model pembelajaran   ceramah, kemudian komunikasi pembelajaran hanya searah sehingga peserta didik merasa bosan. Oleh karena itu peneliti akan merubah proses pembelajaran agar berbasis Creative Problem Solving.

Berdasarkan latar belakang masalah yang diuraikan di atas, penulis mengadakan penelitian “Penerapan Model Pembelajaran type Creative Problem Solving  untuk meningkatkan hasil belajar peserta didik pada mata pelajaran Penerapan Rangkaian Elektronika tentang  Thyristor di Kelas XI EB SMK Negeri 2 Bogor semester 1 Tahun pelajaran 2015- 2016”.

 

Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan Penelitian Tindakan Kelas yang dilaksanakan di kelas XI EB Semester 1 SMK Negeri 2 Kota Bogor tahun pelajaran 2015/2016. Menurut Wijaya Kusuma (2009), penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang dilakukan oleh guru. Sedang dalam tanggapan O’Brien, sebagaimana dikutip dalam Endang Mulyatiningsih (2011), adalah penelitian yang dilakukan tatkala ada indikasi permasalahan pada peserta didik maupun proses pembelajaran di kelas. Dengan kata lain, berlatar belakang hal tersebut, guru—dalam hal ini pendidik—melakukan penanganan dan/atau tindakan guna memperbaiki permasalahan yang terjadi.

Terkait dengan penelitian tindakan kelas, Cohen dan Manion dalam Padmono (2010) menerangkan bahwa, pada pada kondisi lapangan, penelitian tindakan kelas merupakan intervensi kecil pada dunia nyata, yang diwujudkan dalam sebuah perbaikan atas permasalahan di lapangan. Sehingga, dalam penjelasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa model penelitian tindakan kelas merupakan penelitian yang dapat dilakukan dengan kolaborasi dengan pakar, yang pada prosesnya, pakar tersebut diperkenankan memberi alternatif pemecahan, yang kemudian, alternatif tersebut perlu diuji untuk mengukur tingkat efektivitasnya.

Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh kelas XI EB Semester 1 SMK Negeri 2 Kota Bogor sebanyak 36 siswa. Dari analisis peserta didik, didapat bahwa 9 (25%) peserta didik memiliki nilai di atas dan/atau sama dengan 75, dan 27 (75%) lainnya memiliki nilai di bawah 75 yang merupakan nilai kriteria ketuntasan minimum. Berdampingan dengan subjek penelitian, peneliti menentukan hasil belajar sebagai objek yang diteliti, atau dengan kata lain, hasil belajar merupakan objek dalam pelitian ini.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI EB Semester 1 SMK Negeri 2 Kota Bogor. Jumlah siswa kelas tersebut adalah 36 siswa yang terdiri dari 25 siswa laki-laki dan 11 siswa perempuan.

Sampel penelitian ini adalah seluruh siswa kelas XI EB, yang tidak lain adalah 36 siswa yang terdiri dari 25 laki-laki dan 11 perempuan. Alasan peneliti menggunakan seluruh populasi penelitian adalah karena metode penentuan sampel yang peneliti gunakan, di samping juga kebutuhan akan penelitian itu sendiri.

Terkait dengan metode penentuan sampel, peneliti menggunakan purposive sampling. Teknik ini memungkinkan peneliti mendapat jumlah sampel sesuai dengan kebutuhan penelitian, sebab pada praktiknya, kebutuhan penelitian merupakan sesuatu yang dipertimbangkan dalam penentuan sampel itu sendiri. Secara lebih jelas, Sugiyono (2005) menerangkan bahwa purposive sampling adalah pengambilan sampel pada sumber data berdasarkan pertimbangan khusus. Lebih lanjut, pertimbangan yang dimaksud disini tidak terbatas pada kebutuhan—walau pada hakikatnya kebutuhan penelitian adalah prioritas utama—namun purposive sampling berbicara lebih luas daripada itu. Dalam pengertiannya, Usman (2008) juga mengamini apa yang dipaparkan oleh Sugiyono. Menurutnya, purposive sampling adalah teknik pengumpulan data yang dilakukan secara khusus dengan pertimbangan tujuan penelitian.

Terlepas dari penentuan sampel di atas, teknik yang digunakan untuk pengumpulan data disini adalah observasi dan pengambilan nilai siswa. Dengan kata lain, peneliti menggunakan lembar observasi dan lembar penilaian—di samping instrumen lain—sebagai instrumen penelitian.

Teknik analisis yang digunakan disini bersifat kuantitatif dan kualitatif. Teknik kuantitatif mewakili perhitungan—termasuk prosentase dan akumulasi nilai—ujian. Adapun teknik kualitatif terwakili oleh penggambaran dan/atau deskripsi dari hasil perhitungan tersebut.

 

Hasil dan Pembahasan

A.    Hasil Penelitian

1.      Deskripsi Pra Siklus

Sebelum melakukan tindakan dalam penelitian, peneliti melakukan observasi awal di kelas. Hasil observasi menunjukkan bahwa ketika guru mengajar mata pelajaran Penerapan Rangkaian Elektronika tentang Thyristor  adalah rata-ratanya 70  sedangkan KKM yang ditentukan 75. Peserta didik yang mendapatkan nilai di atas KKM  hanya 9 orang (25%) dan 27 orang (75%) sisanya memiliki nilai di bawah KKM. Padahal materi Thyristor bahasannya cukup banyak/luas, maka diputuskan untuk menggunakan model pembelajaran  type Creative Problem Solving pada mata pelajaran Penerapan Rangkaian Elektronika dalam materi Thyristor.

Pembelajaran dimulai dengan mengadakan tes awal di kelas  XI EB untuk mengetahui kemampuan awal peserta didik pada materi Thyristor. Nilai tes awal dijadikan acuan untuk mengetahui hasil belajar peserta didik kelas  XI EB setelah digunakan model pembelajaran  type Creative Problem Solving.  Soal-soal tes awal berupa materi yang berkaitan dengan bahan ajar, yakni Thyristor. Perolehan nilai tes awal ini akan dijadikan acuan untuk mengetahui peningkatan hasil belajar siswa setelah menerapkan pembelajaran  type Creative Problem Solving.  Berikut disajikan data hasil belajar siswa pada pra siklus.

Tabel 1

Hasil Belajar Pra Siklus

Kriteria

Nilai KKM 75

KKM Mata Pelajaran Penerapan Rangkaian Elektronika

Jumlah

%

Jumlah Siswa dengan Nilai ≥ 75

9

25%

Nilai Kriteria Ketuntasan Minimum Mata Pelajaran Penerapan Rangkaian Elekstronika Sebesar 75

Jumlah Siswa dengan Nilai < 75

27

75%

Nilai Tertinggi

80

Nilai Terendah

60

Nilai Rata-rata

70

 

2.      Deskripsi Siklus I

a.      Hasil Keaktifan Siswa Selama Siklus I

Jika digambarkan dalam bentuk grafik, maka data keaktifan siswa pada siklus 1 tersaji pada grafik 1 berikut:

 

 

 

 

Grafik 1

Hasil Aktivitas Belajar Siklus I

 

Data pada tabel dan grafik mengenai aktifitas peserta didik pada siklus I menunjukkan bahwa setengahnya (55,55%) peserta didik baik dalam mengikuti KBM, kurang setengahnya (22,22%) cukup mengikuti KBM dan kurang setengahnya (22,22%) peserta didik kurang semangat mengikuti KBM.

b.      Hasil Belajar Siklus I

Jika digambarkan dalam bentuk tabel, berikut adalah hasil belajar siswa klas XI EB selama siklus I

Tabel 2

Hasil Belajar Siklus I

Kriteria

Nilai KKM 75

KKM Mata Pelajaran Penerapan Rangkaian Elektronika

Jumlah

%

Jumlah Siswa dengan Nilai ≥ 75

27

75%

Nilai Kriteria Ketuntasan Minimum Mata Pelajaran Penerapan Rangkaian Elekstronika Sebesar 75

Jumlah Siswa dengan Nilai < 75

9

25%

Nilai Tertinggi

90

Nilai Terendah

65

Nilai Rata-rata

76,2

 

Berdasarkan  tabel 2 di atas terlihat bahwa rata-rata nilai siswa 76,25 dengan nilai tertinggi 90 dan nilai terendah 65. Peserta didik yang hasil belajarnya di atas KKM ada 27 orang atau 75% dari nilai KKM  dan 9 siswa (25%) diantaranya memiliki nilai di bawah KKM. Hal ini memberikan gambaran bahwa ada peningkatan hasil belajar peserta didik dari pra siklus ke siklus I.

Berdasarkan análisis data di atas, masih terdapat kekurangan pada siklus I. Kekurangan-kekurangan tersebut antara lain guru kurang memotivasi peserta didik dan guru kurang membantu peserta didik dalam proses pembelajaran. Sedangkan kemampuan  guru dalam mengoptimalkan pelaksanaan KBM,  pengelolaan waktu, penggunaan media pembelajaran model pembelajaran  type Creative Problem Solving dan semangat guru belum optimal. Kemudian 8 peserta didik (22,22%) cukup memperhatikan pelajaran dan 8 peserta didik (22,22%) kurang memperhatikan pelajaran, sedangkan yang sudah baik dalam mengikuti pembelajaran ada 20 orang (55,55%) dengan adanya kekurangan-kekurangan tersebut, maka perlu adanya perbaikan-perbaikan dalam KBM untuk siklus II. Perbaikan tersebut yaitu dengan cara lebih rinci lagi dalam menjelaskan dan lebih memotivasi peserta didik dengan cara menginformasikan manfaat yang di dapat jika kita memahami dan menguasai materi Thyristor. Selain itu guru harus lebih mengondisikan peserta didik, sehingga semua peserta didik benar-benar terlibat dalam KBM.

3.      Deskripsi Siklus II

a.      Hasil Keaktifan Siswa Sepanjang Siklus II

Hasil terkait keaktifan siswa peneliti gambarkan melalui grafik sebagaimana berikut:

Grafik 2

Hasil Aktivitas Belajar Siklus II

Data mengenai aktifitas peserta didik pada siklus II menunjukkan bahwa hampir seluruh (80,55%) peserta didik termotivasi dalam mengikuti KBM dan hanya sebagian kecil (19,44%) peserta didik cukup termotivasi mengikuti KBM.

b.      Hasil Belajar Siswa Sepanjang Siklus II

Jika digambarkan dalam bentuk tabel, berikut adalah hasil belajar siswa klas XI EB selama siklus II:

Tabel 3

Hasil Belajar Siklus II

Kriteria

Nilai KKM 75

KKM Mata Pelajaran Penerapan Rangkaian Elektronika

Jumlah

%

Jumlah Siswa dengan Nilai ≥ 75

36

100%

Nilai Kriteria Ketuntasan Minimum Mata Pelajaran Penerapan Rangkaian Elekstronika Sebesar 75

Jumlah Siswa dengan Nilai < 75

0

0%

Nilai Tertinggi

100

Nilai Terendah

75

Nilai Rata-rata

82

 

Berdasarkan  tabel 3 terlihat bahwa rata-rata nilai peserta didik 82 dengan nilai tertinggi 100 dan nilai terendah 75. Peserta didik yang hasil belajarnya di atas KKM  ada 36 orang atau 100% dari nilai KKM yang ditetapkan yaitu 75. Hal ini memberikan gambaran bahwa ada peningkatan hasil belajar peserta didik dari siklus I ke siklus II.

Dari data di atas didapat informasi bahwa seluruhnya peserta didik menyukai pembelajaran yang baru diterapkan. Hal tersebut dibuktikan dengan nilai rerata yang sampai di angka 82. Seluruh peserta didik (36 orang) dalam materi Thyristor sudah tuntas. Sedangkan aktivitas siswa dalam mengikuti materi ini hampir semua peserta didik 80,55% atau 29 orang dari 36 peserta didik sangat baik mengikuti pelajaran. Hanya 19,45% atau 7 peserta didik yang kadang-kadang aktif. Kemudian aktivitas guru adalah 100% guru mampu memotivasi dan mengarahkan peserta didik dalam materi ini. Hal ini dikarenakan peserta didik merasa tertarik dan termotivasi dalam KBM yang menggunakan model pembelajaran  type Creative Problem Solving.

 

 

B.     Pembahasan

1.      Pelaksanaan Kegiatan

Sepanjang kegiatan pembelajaran peneliti mendapati antusiasme yang cukup baik. Siswa terlihat termotivasi untuk melakukan kegiatan pembelajaran. Lebih dari itu, siswa juga terkesan menikmati proses pembelajaran dengan model creative problem solving. Akhirnya, pada tahap lanjut, hal tersebut memberi peningkatan pada motivasi belajar para peserta didik, yang kemudian hasil tersebut berpengaruh pada peningkatan hasil belajar siswa XI EB SMK Negeri 2 Kota Bogor.

2.      Aktivitas Belajar

Rekapitulasi aktivitas belajar sepanjang siklus penulis gambarkan melalui tabel seperti berikut:

Tabel 4

Rekapitulasi Aktivitas Belajar Siswa Sepanjang Siklus

Jumlah Siswa

Aktivitas Belajar Selama 2 Siklus

Refleksi Kondisi Awal ke Kondisi Akhir

Siklus I

Siklus II

Tinggi

Sedang

Rendah

Tinggi

Sedang

Rendah

36

56%

22,22%

22,22%

80,55%

19,44%

0%

Terjadi Peningkatan

 

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa aktivitas belajar sepanjang siklus I dan II mengalami peningkatan. Siswa dengan aktivitas belajar tinggi di siklus I hanya sekitar 56%, sedang siswa dengan kategori tersebut di siklus II mencapai angka 80,5%. Hasil positif juga terjadi pada kriteria belajar sedang dan rendah. Pada siklus I, siswa dengan aktivitas belajar sedang berjumlah 22,22% sedang pada siklus II mengalami penurunan hingga hanya tersisa 19,44%.  Adapun hasil yang cukup signifikan terjadi pada kriteria aktivitas belajar rendah, dimana pada siklus I, siswa dengan aktivitas belajar rendah berada di angka 22,22% dan menyusut menjadi 0% pada siklus II.

Rangakaian hasil positif sebagaimana dijelaskan di atas merupakan pengaruh dari penerapan metode belajar creative problem solving. Atas penerapan positif di atas, peneliti mendapat peningkatan aktivitas belajar dan antusiasme siswa, yang pada pembelajaran sebelumnya, hal serupa tidak muncul.

c.       Hasil Belajar

Untuk meninjak rekapitulasi hasil belajar sepanjang seluruh siklus, berikut penulis cantumkan tabel rekapitulasi hasil belajar:

Tabel 5

Rekapitulasi Hasil Belajar Sepanjang Seluruh Siklus

Aspek Nilai

Prasiklus

Siklus I

Siklus II

Refleksi Kondisi  Awal Ke Kondisi Akhir

Nilai Tertinggi

80

90

100

Terjadi peningkatan

Nilai Terendah

60

65

75

Nilai Rata-rata

70

76,2

82

Nilai ≥ 77

9

27

100

25%

75%

100%

Nilai < 77

27

9

0

75%

25%

0%

Jumlah siswa

36

36

45

 

Dari tabel di atas  peneliti mendapati peningkatan yang cukup signifikan terjadi pada masing-masing siklus. Tidak hanya itu, peningkatan sendiri tidak terjadi pada satu aspek, melainkan pada seluruh aspek.

Pada pra siklus, nilai tertinggi siswa hanya berada di angka 80, kemudian meningkat menjadi 90 di siklus I dan 100 di siklus II. Nilai terendah pun mengalami peningkatan tiap siklus. Pada pra siklus nilai terendah berada di angka 60, kemudian meningkat menjadi 65 di siklus I dan 75 di siklus II. Hal serupa juga terjadi pada nilai rerata kelas. Pada pra siklus, nilau tersebut hanya ada di angka 70, kemudian meningkat menjadi 76,2 di siklus I dan meningkat menjadi 82 di siklus II. Peningatan-peningkatan yang terjadi—sebagaimana di atas—merupakan hasil positif yang dituai pada penerapan model pembelajaran creative problem solving.

Dari hasil positif di atas, hasil yang paling mencolok terjadi pada jumlah siswa yang bernilaikan di atas, sama dengan dan/atau kurang dari KKM. Pada pra siklus, siswa dengan nilai di atas dan/atau sama dengan nilai KKM hanya berjumlah 9 siswa, atau sama dengan 25% dari total 36 siswa yang menjadi responden. Dengan kata lain, sebanyak 27 siswa memiliki nilai di bawah 75, yang artinya, sebanyak 75% siswa berada di bawah nilai KKM. Kemudian, setelah penerapan model pembelajaran creative problem solving, kondisi tersebut kemudian berubah, bahkan berbalik. Sebanyak 27 siswa memiliki nilai sama dengan dan/atau lebih dari 75, sedang 9 lainnya memiliki nilai di bawah 75 di siklus I. Sedangkan pada siklus II, tidak ada lagi siswa kelas XI EB yang bernilaikan di bawah 75. Dengan kata lain, pada siklus II, seluruh siswa—atau 100% dari keseluruhan siswa—memiliki nilai di atas dan/atau sama dengan 75 atau kriteria metuntasan minimum.

 

Kesimpulan

Dari hasil dan pembahasan di atas, peneliti pun menemui beberapa kesimpulan yang kemudian akan dipaparkan dalam uraian berikut ini:

  1. Model Pembelajaran Creative Problem Solving dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik sesudah menggunakan model pembelajran type creative problem solving;
  2. Penggunaan model pembelajaran type Creative Problem Solving dalam pembelajaran membuat peserta didik tidak bosan dan jenuh sebaliknya merasa senang sehingga aktivitas belajar mereka meningkat. Hal ini terbukti pada siklus I ada 55,55% atau 20 peserta didik yang aktif, 22,22% atau 8 peserta didik yang cukup aktif dan 22,22% atau 8 peserta didik yang kurang aktif pada saat pembelajaran. Setelah guru memperbaiki hasil refleksi pada siklus I maka pada siklus II didapat 80,55% atau 29 peserta didik aktif pada saat pembelajaran dan 19,45% atau 7 peserta yang tidak cukup aktif pada saat pembelajaran serta 0,00% atau tidak ada peserta didik yang tidak aktif pada saat pembelajaran. Hal tersebut berpengaruh terhadap hasil belajar yang dicapai peserta didik.
  3. Hasil belajar mata pelajaran Penerapan Rangkaian Elektronika khususnya materi Thyristor di kelas XI EB di SMK Negeri 2 Bogor sebelum menggunakan model pembelajaran type Creative Problem Solving  mempunyai nilai rata-rata 70. Pada saat pembelajaran diubah menggunakan model pembelajaran type Creative Problem Solving , rata-rata hasil belajar peserta didik meningkat menjadi 75,56 pada siklus I dan 82,78 pada siklus II.

 

 

 

 

 

BIBLIOGRAFI

Dwiyogo, Wasis. 1999. Kapabilitas Pemecahan Masalah Sebagai Hasil Belajar Kognitif Tingkat Tinggi. Malang: Jurnal Teknologi Pembelajaran.

 

Huda. M. 2013. Model-model Pengajaran dan Pembelajaran. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

 

Kusuma, Wijaya. 2009. Mengenai Penelitian Tindakan Kelas. Jakarta: PT Rineka Cipta.

 

Mulyatiningsih, Endang. 2011. Evaluasi Proses Suatu Program. Jakarta: Bumi Aksara

 

Padmono. 2010. Kelebihan, Kekurangan, Manfaat dan Penerapan PTK Seri PTK 15. [online]. Tersedia http://kompasiana.com/post/edukasi/2010/10/09/kelebihan-kekurangan-manfaat-dan-penerapan-ptk-seri-ptk-15/. [9 November 2017)

 

Shoimin, Aris. 2014. 68 Model Pembelajaran Inovatif dalam Kurikulum 2013. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media.

 

Suryobroto. 2009. Proses Belajar Mengajar di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta

 

Suyitno, dkk. 2000. Dasar-dasar dan Proses Pembelajaran Matematika I. Semarang: Pendidikan Matematika FMIPA UNNES.