Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia – ISSN : 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 2,
No 12 Desember 2017
STATUS
GIZI DAN TINGKAT KECUKUPAN ZAT GIZI PADA REMAJA PUTRI ANEMIA
Anggray Duvita W1,
S. Fatimah-Muis2,
Gemala
Anjani3
Universitas Muhadi Setiabudi
Brebes
Email: anggraydw@gmail.com
Abstrak
Prevalensi anemia pada remaja putri di Indonesia masih cukup tinggi, yaitu 22,4%. Anemia disebabkan oleh faktor gizi dan non gizi. Faktor gizi dapat disebabkan oleh ketidakcukupan asupan zat-zat gizi yang dapat mempengaruhi kadar hemoglobin, seperti energi, protein, zat besi, asam folat dan vitamin C. Penelitian ini bertujuan mengetahui asupan zat gizi (protein, fe, folat dan vitamin C) dan status gizi pada remaja putri anemia. Desain penelitian cross-sectional, dengan 72 subjek remaja putri anemia. Kadar hemoglobin diukur menggunakan metode Cyanmethemoglobin, pengukuran berat badan dengan menggunakan timbangan injak digital dan tinggi badan menggunakan microtoise. Asupan zat gizi diperoleh dengan metode food recall 3x24 jam. 72 subjek penelitian merupakan remaja putri anemia, dengan rerata kadar hemoglobin 11,2 ± 0,51. Hasil penelitian diperoleh 5,6% subjek memiliki status gizi kurus, 87,5% normal, 6,9% overweight. Dilihat dari asupan diketahui 66,6% subjek mengalami defisiensi energi, 91,3% mengalami defisiensi protein, 97,2% defisiensi folat, 65,6% defisiensi vitamin C, dan 100% mengalami defisiensi zat besi (Fe). Sebagian besar subjek masih mengalami defisiensi zat-zat gizi, terutama zat besi. Disarankan para siswi untuk meningkatkan konsumsi makanan sumber protein terutama protein hewani, zat besi, folat, dan vitamin C serta mengatur pola makan yang benar.
Kata Kunci: Hemoglobin, anemia, zat gizi, remaja putri
Pendahuluan
Anemia
merupakan suatu kondisi klinis penurunan kuantitas sel-sel darah merah dalam
sirkulasi yang ditandai dengan rendahnya kadar hemoglobin dalam darah (Bakta:
2006). Penurunan jumlah hemoglobin dalam darah akan menyebabkan
penurunan kadar oksigen yang dibawa oleh sel darah merah sehingga menyebabkan
penurunan pasokan oksigen pada organ tubuh (Bakta: 2003) (Onyesom: 2006).
Anemia
merupakan salah satu masalah gizi yang cukup banyak terjadi di Indonesia.
Diagnosis anemia ditandai dengan kadar hemoglobin yang berbeda-beda berdasarkan
usia, jenis kelamin, dan kondisi tubuh (Kamal: 2010). Berdasarkan
data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas), diketahui prevalensi anemia yang
cukup tinggi pada tahun 2013 terjadi pada remaja putri, yaitu sebesar 22,7%
yang dinilai dengan kadar hemoglobin kurang dari 12 gr/dl (Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan: 2013). Berdasarkan data dari Dinas Kesehatan
Kota Semarang, prevalensi anemia pada remaja putri di Semarang pada tahun 2014
sebanyak 11,8%.
Remaja
putri membutuhkan asupan zat gizi yang lengkap dalam jumlah optimal, karena
pada usia remaja tengah mengalami masa pertumbuhan dan perkembangan (Woodruff:
2000). Akan tetapi, pada kenyataannya banyak remaja putri yang mengalami
kekurangan zat-zat gizi dalam konsumsi makanan sehari-hari. Defisiensi zat besi
bukanlah satu-satunya penyebab anemia, akan tetapi kekurangan zat-zat gizi lainnya seprti
protein, asam folat, dan vitamin C juga ikut berkontribusi sebagai penyebab
anemia (Majid: 2002).
Remaja
putri merupakan salah satu kelompok yang rawan menderita anemia karena pada
masa itu juga pertama kalinya terjadi menstruasi (Rupali: 2015). Pada
saat menstruasi, remaja putri membutuhkan lebih banyak zat besi asupan zat besi
untuk menggantikan kehilangan zat besi yang terjadi. Jumlah kehilangan besi
selama satu siklus menstruasi (±28 hari) sekitar 0,56 mg per hari. Jumlah
tersebut ditambah dengan kehilangan basal sebesar 0,8 mg per hari. Sehingga
jumlah total besi yang hilang sebesar ±1,36 mg per hari (Hallberg: 1991).
Remaja
putri pada umumnya memiliki kebiasaan makan tidak sehat. Antara lain kebiasaan
tidak makan pagi, malas minum air putih, melakukan diet tidak sehat karena
menginginkan postur tubuh yang ideal (mengabaikan sumber protein, karbohidrat, vitamin
dan mineral), perilaku eating disorder, dan
kesukaan terhadap makanan siap saji. Hal inilah yang membuat remaja tidak mampu
memenuhi keanekaragaman zat makanan yang dibutuhkan tubuh untuk proses sintesis
hemoglobin. Bila hal ini terjadi dalam jangka waktu yang lama akan menyebabkan
kadar Hb terus berkurang dan menimbulkan anemia (Kusumajaya: 2008).
Metodologi
Penelitian
Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah
studi cross sectional. Penelitian ini dilaksanakan di SMP Bonifasio, SMP
Walisongo 2, dan MTs. Darussaadah Semarang. Penlitian dilakukan selama 1 minggu
pada bulan Februari 2016
Subjek pada penelitian ini sebanyak 72 siswi dan
dipilih secara consecutive. Kriteria inklusi subjek adalah berjenis
kelamin perempuan, sudah mengalami menstruasi, tidak merokok, dalam keadaan
sehat, dan memiliki kadar hemoglobin < 12 mg/dl. dan bersedia dijadikan
subjek penelitian.
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
primer. Data antropometri diperoleh dengan melakukan pengukuran berat badan dan
tinggi badan, karakteristik subjek diperoleh dengan wawancara kuesioner, data
konsumsi pangan dikumpulkan menggunakan kuesione food recall 3x24 jam, dan data status anemia diperoleh melalui
pengukuran hemoglobin menggunakan metode Cyanmethemoglobin.
Data status gizi dihitung dengan z-score BB/TB untuk remaja 12-14 tahun.
Asupan makan diolah dengan menggunakan nutrisurvey.
Analisis data yang digunakan adalah analisism univariat, untuk
mendeskripsikan tingkat kecukupan zat gizi dan status gizi subjek
Pengajuan permohonan ethical clearance kepada Komisi Etik
Penelitian Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang.
Hasil
dan Pembahasan
Subjek pada penelitian
ini sebanyak 72 siswi yang berasal dari SMP Walisongo 2, SMP PL Bonifasio, dan
MTs. Darussaadah. Ketiga tempat penelitian tersebut berada dalam satu wilayah,
yaitu Tlogosari Kulon, Semarang, yang merupakan daerah dataran rendah (daerah
rawa) dengan keadaan sosial ekonomi menengah. Pengumpulan data dilakukan
mengukur kadar hemoglobin, status gizi, dan asupan makan subjek. Karakteristik
subjek dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1
Karakteristik
Subjek Penelitian
Variabel |
rata-rata ± SB |
n |
% |
Usia 12 tahun 13 tahun 14 tahun |
- - - |
17 24 31 |
23,6 33,3 43,1 |
Status
Gizi (Zscore BB/TB) Kurus Normal Gemuk |
-2,1 ± 0,31 -0,1 ± 0,89 2,23 ± 0,15 |
4 63 5 |
5,6 87,5 6,9 |
Hemoglobin <11.0
mg/dl 11.0-11.9 mg/dl |
10,6 ± 0,24 11,5 ± 0,28 |
23 49 |
31,9 68,1 |
Status
gizi merupakan tanda-tanda penampilan seseorang akibat keseimbangan antara
pemasukan dan pengeluaran zat gizi yang berasal dari pangan yang dikonsumsi
pada suatu saat berdasarkan pada kategori dan indikator yang digunakan (Depkes
2005). Sebagian besar subjek berada dalam kategori status gizi normal (87,5%),
dan hanya terdapat 5,6% berstatus gizi kurus serta 6,9% berstatus gizi gemuk.
Asupan makan subjek
diambil dengan metode food recall 3 x
24 jam dan diolah dengan software
nutrisurvey. Berdasarkan Angka Kecukupan Gizi (AKG 2013) kebutuhan gizi per
hari untuk remaja putri usia 12-14 tahun adalah energi sebesar 2125 kkal,
protein 62 g, besi 20 mg, asam folat 400 µg, dan vitamin C 65 mg. Tingkat
kecukupan zat gizi subjek dinilai berdasarkan hasil perhitungan angka kecukupan
gizi tiap individu. Asupan zat gizi subjek (energi, protein, fe, folat, vitamin
c) dapat dilihat pada tabel 2.
Tabel 2
Asupan Zat Gizi
Subjek Penelitian
Variabel |
rata-rata ± SB |
N |
% |
Asupan
Energi (kal) Defisit berat Defisit ringan Cukup |
1312,0 ± 202,51 1454,5 ± 144,16 1575,33 ± 215,3 |
25 23 24 |
34,7 31,9 33,3 |
Asupan
Protein (gr) Defisit berat Defisit ringan Cukup |
28,5 ± 7,92 35,4 ± 7,23 46,4 ± 8,80 |
35 30 7 |
48,6 41,7 9,7 |
Asupan
Fe (mg) Defisit berat Defisit ringan Cukup |
6,1 ± 1,05 - - |
72 - - |
100 - - |
Asupan
Folat (µg) Defisit berat Defisit ringan Cukup |
109,5 ± 13,25 150,5 ±19,24 201,5 ± 36,55 |
4 66 2 |
5,6 91,7 2,8 |
Asupan
Vit.C (mg) Defisit berat Defisit ringan Cukup |
27,7 ± 5,72 37,1 ±8,40 55,0 ± 14,53 |
28 27 17 |
38,9 37,5 23,6 |
Keterangan
: defisit berat <70% AKG ;
defisit ringan 70 – 89,9% AKG ; cukup
≥ 90% AKG
Sebagian besar
responden mengonsumsi zat gizi di bawah perhitungan AKG. Berdasarkan hasil recall diketahui kebiasan makan subjek
masih kurang dari segi jumlah maupun ragamnya. Masih terdapat subjek yang
asupan energinya mengalami defisit berat dan ringan, hal ini dapat dilihat dari
kebiasaan subjek mengonsumsi nasi sebagai sumber karbohidrat utama 1-2
centong/hari. Beberapa subjek lebih memilih mie instan satu kali sehari dan
menghindari nasi. Saat makan siang, sebagian besar subjek lebih memilih makanan
berupa cemilan di sekolah, seperti gorengan, somay, batagor, dan makanan ringan
lainnya.
Asupan protein dan zat
besi subjek sebagian besar masih dalam kategori defisit berat, terutama asupan
zat besi 100% mengalami defisit berat. Subjek jarang mengonsumsi lauk pauk
hewani, seperti ayam dan daging, karena beberapa subjek mengaku sedang diet
untuk menurunkan berat badan. Sebagian besar subjek jarang mengonsumsi lauk pauk
hewani karena memang tidak tersedia di keluarganya. Protein dan zat besi
merupakan zat gizi penting dalam pembentukan hemoglobin. Zat besi merupakan
salah satu zat dibutuhkan dalam pembentukan hemoglobin darah. Zat besi
berikatan dengan protoporfirin yang
merupakan gabungan dari empat senyawa pirol yang dibentuk oleh sintesis protein
2 suksinilkoa dan 2 glisin di mitokondria. Ikatan zat besi dengan protoporfirin akan membentuk molekul heme yang pada akhirnya empat molekul heme berikatan dengan satu molekul globin dan membentuk hemoglobin
(Evelyn: 2009)(Chen: 2007). Selain zat besi, protein juga dinilai
berperan dalam sintesis hemoglobin. Di samping itu, Protein hewani juga membantu
penyerapan zat besi dalam tubuh.
Konsumsi sayuran sebagai salah satu sumber
asam folat pada subjek masih sedikit jenis dan kuantitasnya. Subjek rata-rata
mengonsumsi sayuran yang sama dalam sehari dengan jumlah yang sedikit. Sebagian
besar subjek mengaku tidak suka sayur-sayuran. Sayur-sayuran sebagai sumber asam
folat diperlukan dalam berbagai jenis reaksi biokimia. Kekurangan folat
menyebabkan kinerja sel menurun, termasuk yang berperan dalam metabolisme besi
yaitu fungsi transferin reseptor.
Asam folat juga diperlukan untuk pembentukan sel darah merah dan pendewasaannya
dalam sumsum tulang. Folat mendukung dalam metabolisme beberapa asam amino
termasuk histidin, serin, glisin dan methionin. Asam folat dan vitamin B12
penting dalam pematangan akhir sel darah merah (Permono: 2005) (Gibson: 2005).
Asupan vitamin C pada
subjek sudah cukup bagus, meskipun masih terdapat beberapa yang defisiensi
berat dan defisiensi ringan. Subjek jarang mengonsumsi beragam buah-buahan,
karena lebih memilih gorengan dan makanan ringan sebagai cemilan. Buah-buahan
yang biasa dikonsumsi subjek adalah jeruk, pisang, semangka, dan pepaya.
Buah-buahan merupakan sumber terbaik vitamin C, yang merupakan zat gizi yang
dapat mendukung penyerapan Fe terutama dalam besi non heme karena vitamin C dapat mengikat faktor-faktor yang
menghambat penyerapan zat besi seperti asam fitat, dan asam oksalat (Almatsier:
2003). Vitamin C bertindak sebagai enhancer yang kuat dalam mereduksi ion ferri menjadi ion ferro, sehingga mudah diserap dalam pH lebih tinggi dalam duodenum dan usus halus (Almatsier:
2003) (Besuni: 2013) (Reddy: 2000).
Rendahnya asupan makanan seperti protein, zat
besi, folat, dan vitamin C pada subjek remaja anemia, kemungkinan
dikarenakan persepsi yang tidak tepat
tentang diet, dan kurangnya pengetahuan pada remaja putri. Meskipun status gizi
subjek sebagian besar sudah normal, akan tetapi masih banyak subjek yang memili
persepsi salah tentang berat badan ideal.
Kesimpulan
Asupan zat gizi subjek belum cukup memenuhi
kebutuhan subjek dalam sehari, terutama asupan zat besi. Tingkat kecukupan zat
gizi (energi, protein, fe, folat, vitamin C) subjek mayoritas berada pada
kategori defisit berat. Untuk itu, disarankan para siswi
untuk meningkatkan konsumsi makanan sumber protein terutama protein hewani, zat
besi, folat, dan vitamin C serta mengatur pola makan yang benar. Pengarahan dan
pegawasan dari pihak-pihak terkait pun diperlukan agar perubahan ini bisa
berlangsung berkelanjutan.
BIBLIOGRAFI
Bakta IM. 2006. Pendekatan
terhadap pasien anemia. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI.
Bakta IM. 2003. Hematologi Klinik Ringkas. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC,
Onyesom I. 2006.
Synthesis of Human Haemoglobin by Plants.
Educational Research and Review. 2006; 1(1): 12-15.
Kamal S, Erfan
M, Kholoussi SM, Bahgat KA. 2010. Growth
Pattern in Anemic Children and Adolescents. Journal of American Science.
2010; 6(12): 1636-1643.
Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan RI. 2013. Hasil
Riset Kesehatan Dasar. Kementrian Kesehaatan RI
Woodruff BA,
Duffield A. 2000. Adolescents: assessment
of nutritional status in emergency affected populations. ACC/SCN.
Zong, XN and Li,
H 2014. Physical growthof children and
adolescents in China overthe past 35 years’. Bulletin of the WorldHealth
Organization.
Majid E. 2002. Selected Major Risk Factors andGlobal and
Regional Disease. The Lancet.
Rupali AP,
Sanjay SK. 2015. Anemia: Does It Have
Effect on Menstruation?. Scholar Journal of Applied Medical Science.
2015;3(IG): 514-517.
Hallberg L,
Rossander-Hulthen L. 1991. Iron
Requirements in Menstruating Women. Am J Clin Nutr. 1991. vol. 54.
p:1047-1058.
Kusumajaya NA,
Wiardani NK, Juniarsana IW. 2008. Persepsi
Remaja terhadap Body Image Kaitannya dengan Pola Konsumsi Makan. Jurnal
Skala Husada. 2008;5(2): 114-125.
Evelyn
C, Pearce. 2009. Anatomi dan Fisiologi
untuk Paramedis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Chen
J. 2007. Regulation of Protein Sinthesys
by Heme Regulated eIF2α kinase : relevance to anemia.
American Society of Hematology. 2007; 109(7): 2693-2697.
Permono B, Sutaryo, Ugrasena. 2005. Anemia Defisiensi Besi.
Buku Ajar Hematology
– oncology. Jakarta: Badan penerbit IDAI
Gibson
RS. 2005. Principles of Nutritional
Assesment. 2nd edition. USA: Oxford University Press.
Almatsier,
S. 2003. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Gramedia.
.
Besuni
A, Jafar N, Indriasari R. 2013. Hubungan
Asupan Zat Gizi Pembentuk Sel Darah Merah dengan Kadar Hemoglobin. Jurnal
MKMI. 2013; 21-27.
Reddy MB,
Hurrell RF, Cook JD. 2000. Estimation of
Non heme-iron Bioavailability from Meal Composition. AJCN. 2000; 71: 937-943.