e-ISSN: 2548-1398
Vol. 5, No. 9,
September 2020
LANGKAH DIPLOMASI INDONESIA TERKAIT PENYELESAIAN SENGKETA WILATAH
REKLAMASI SINGAPURA
Aos Yuli Firdaus dan Isma Mutmainah
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional Jakarta,
Indonesia
Email: aosyulifirdaus@civitas.unas.ac.id dan gallisma07@gmail.com
Asbtract
The territorial
border disputes of Southeast Asian countries often occur because the
determination of territorial boundaries between countries involved in the
conflict, one of which is between Indonesia and Singapore, is still involved in
territorial problems. However, Indonesia and Singapore have undergone several
dispute resolution efforts from 1973 to 2009. In addition to the border issue,
there are also other crucial issues, namely the coastal reclamation issue by
Singapore which requires diplomatic settlement because coastal reclamation
poses a threat to Indonesia's restrained sovereignty which can shift the
maritime boundary between Indonesia-Singapore. This problem is how the
diplomatic efforts of Indonesia and Singapore in solving the coastal
reclamation problem that threatens Indonesian territory. The purpose of this
research is to find out what are the steps of the two countries in resolving
territorial conflicts caused by the reclamation of the Singapore coast in the
Indonesian border area. The research method is carried out by describing the
problems to be studied descriptively then analyzing the library research data
sources. The research results show that the peaceful settlement of the
grassroots maritime boundary between Indonesia and Singapore uses diplomatic
measures. In this territorial dispute, the two countries both ratified the 1982
UNCLOS in which both countries must comply with legal provisions written in it
as a settlement of maritime border disputes.
Keywords: Territorial disputes; Diplomacy; Reclamation
Abstrak
Sengketa perbatasan di wilayah
Negara-negara Asia Tenggara sering terjadi dikarenakan belum terselesaikannya
penentuan garis-garis batas wilayah di antara negara yang terlibat konflik yang
salah satunya antara Indonesia dengan Singapura masih terlibat masalah
teritorial. Walaupun demikian, Indonesia dan Singapura telah menjalani beberapa
upaya perundingan penyelesaian sengketa sejak 1973 hingga 2009. Selain masalah
perbatasa juga ada masalah lain yang cukup krusial yaitu masalah reklamasi pantai
oleh Singapura yang memerlukan penyelesaian secara diplomasi karena reklamasi pantai
memberikan ancaman terhadap kedaulatan Indonesia dikekhawatiran dapat menggeser
batas maritim antara Indonesia-Singapura. Masalah penelitian ini bagaimana
upaya diplomasi Indonesia dan Singapura dalam menyelesaikan masalah reklamasi
pantai yang mengancam territorial Indonesia. Adapun tujuan penelitian ini untuk
mengetahui apa saja langkah ke dua negara dalam menyelesaikan konflik
territorial yang disebabkan reklamasi pantai Singapura di wilayah perbatasan
Indonesia. Adapun metode penelitian dilakukan
dengan menggambarkan permasalahan yang akan diteliti secara deskriptif
kemuadian melakukan analisis dengan sumberdata library research. Hasil
penelitian bahwa penyelesaian batas maritim antara Indonesia dan Singapura
diselesaikan secara damai menggunakan langkah-langkah diplomasi. Dalam
penyelesaian sengketa wilayah ini juga, kedua negara yang sama-sama
meratifikasi UNCLOS 1982 dimana ke dua negara harus mematuhi ketetapan-ketetapan
hukum yang tertulis didalamnya sebagai pedoman penyelesaian sengketa perbatasan
laut.
Kata kunci: Sengketa wilayah; Diplomasi; Reklamasi
Pendahuluan
Sengketa perbatasan antar negara
merupakan permasalahan yang cukup mudah untuk dijumpai, terlebih dikawasan Asia
Tenggara. Garis-garis batas penanda kepemilikan wilayah merupakan hal penting
bagi suatu negara untuk diakui sebagai bagian dari teritori kedaulatan
negaranya. Adapun latar belakang terjadinya suatu sengketa wilayah dapat dipicu
oleh berbagai hal, salah satunya latar belakang historis yang dalam hal ini
sering dibawa-bawa sebagai salah satu bukti untuk menguatkan kedaulatan negara
akan suatu pulau atau wilayah yang disengketakan dan ada pula pemicu lainnya (Mauna, 2016).
Reklamasi adalah kegiatan yang
dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan
ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan,
pengeringan lahan atau drainase (Azizah, 2017); (Soliman et al., 2015). Namun sejak
berlakunya Hukum Laut, UNCLOS 1982, maka telah muncul berbagai ketentuan-ketentuan
baru mengenai perairan. Dimana bagian Tengah, membentang antara Pulau Nipah dan
Tuas. sebuah pulau kecil di wilayah perairan itu. Sedangkan bagian Timur
terdiri dari dua bagian. Segmen pertama, antara Batam dengan Bandara Changi.
Segmen kedua, antara Bintan dengan South Ledge atau Pedra Branca. Penetapan
batas matirim kedua negara dilakukan pemeritnah Indonesia dengan base point di
Pulau Nipah. sedangkan garis pangkal Kepulauan Indonesia ditarik dari Pulau
Nipah ke Pulau Karimun Besar (Defilla et al., 2016).
Terlebih lagi mengenai hal ini
Singapura melakukan reklamasi pantai yang menjorok sejauh 12 mil ke wilayah
perairan Indonesia yang mengganggu kesepakatan kedua Negara atas putusan
penetapan batas wilayah ini. Dengan reklamasi pantai yang telah dilakukan,
Singapura berhasil memperluas cakupan wilayahnya dengan cepat. Reklamasi pantai
oleh Singapura sendiri menjadi suatu alarm yang patut Indonesia waspadai untuk
mencegah terkikisnya daerah-daerah yang masih berada dalam cakupan Negara
maupun daerah sengketanya dengan Singapura.
Adapun pertanyaan penelitian ini
yaitu “Bagaimana bentuk diplomasi yang dilakukan Indonesia dalam menyelesaikan masalah
reklamasi yang dilakukan Singapura? Maksud dan Tujuan dari dibuatnya penelitian
ini adalah untuk mengetahui bentuk diplomasi dan langkah-langkah yang digunakan
Indonesia dalam menyelesaikan sengketa batas maritime dengan Singapura,
termasuk didalamnya terkait imbas reklamasi pantai yang dilakukan Singapura. Penelitian ini bertujuan diharapakan
dapat memberikan pengetahuan kepada
pembacanya, juga dapat menjadikan tambahan informasi bagi terkait penyelesaian
sengketa maritim antara Indonesia dan Singapura.
Indonesia
sebagai negara yang berdaulat,
memiliki hak untuk mempertahankan
setiap jengkal tanahnya terhadap
berbagai persoalan yang menyangkut
keutuhan wilayah Wawasan Nusantara itu sendiri. Wilayah Negara Kepulauan Republik Indonesia (NKRI) berbatasan dengan 10 negara, yaitu India, Malaysia, Singapura, Thailand, Vietnam, Philipina, Palau, Papua New Guinea, Australia, dan Timor Leste. Wilayah perairan laut Indonesia yang sangat luas ini dan letaknya berhadapan dengan beberapa negara-negara tetangga sehingga mudah mendatangkan ancaman sengketa batas wilayah, begitu pula dengan Singapura. Tahun 1960 luas wilayah Singapura hanya mencapai 581,5 kilometer persegi. Hal ini tidak sejalan dengan jumlah penduduk yang terus bertambah setiap tahunnya sehingga meningkatkan permintaaan lahan yang lebih luas. Selain itu permintaan lahan yang lebih luaskarena pemerintahan Lee Kuan Yew mengedepankan pembangunan ekonomi secara keseluruhan. Lee membuat berencana menyediakan infrastruktur yang representatif dengan cara meningkatkan
para investor yang mau menanamkan
uangnya di Singapura di mana telah melakukan reklamasi pantai sejak tahun 1966 yang menyebabkan luas wilayah negara ini bertambah hingga mencapai 697,2 km˛ dari luas wilayahnya pada 1960, yaitu 581,5 km˛.Kebijakan reklamasi ini akan terus dilakukan sampai tahun 2030 mendatang hingga luas wilayahnya mencapai 760 sampai 774 km˛ membuat Singapura membutuhkan pasir sebanyak 1, 8 milyar kubik pasir urug. Perluasan wilayah ini akan digunakan untuk perumahan, rekreasi, kebutuhan infrastruktur, keperluan militer dan keperluan komersil (http://www.beritaindonesia.co.id/lingkungan/793-tanah-gersang-demi-singapura/ diakses pada tanggal 29 Mei 2016).
Selat
Singapura yang
merupakan pemisah
wilayah laut antara Indonesia dan Singapura merupakan jalur laut utama yang menghubungkan Samudera Hindia dengan Laut Tiongkok Selatan (Harto
& Akmaludin, 2016). Letak Selat ini yang strategis membuatnya menjadi sumber pemasukan yang cukup signifikan bagi Indonesia maupun Singapura. Selat ini merupakan jalur pelayaran internasional yang menghubungkan negara-negara di Asia Tenggara dengan negara-negara Eropa, Jepang, Tiongkok maupun Amerika Serikatdan juga merupakan jalur pelayaran terpendek bagi perdagangan tanker-tanker di antara negara-negara Asia Tengah dan Asia Timur Jauh. Hal ini mengakibatkan lalu lintas di area ini sangat padat, dimana dilaporkan sekitar 70.000 kapal melewati jalur laut ini pertahunnya (Arsana,
2013).
Kondisi
geografis alamiah kedua selat ini
juga merupakan salah satu faktor yang membuat kapal-kapal yang berlayar melewati selat ini rentan terhadap serangan pembajakan dan tindakan ilegal lainnya (Alihar,
2018). Selain membuat kapal yang berlayar di wilayah ini rentan terhadap serangan, kondisi geografis wilayah ini juga membuat potensi pencemaran di wilayah ini tinggi. Tingginya lalu lintas, pembajakan serta kegiatan ilegal, dan juga pencemaran diatas menyebabkan batas maritim di antara Indonesia dan Singapura menjadi penting. Penerapan batas maritim dalam suatu wilayah perairan akan memperjelas yurisidiksi negara yang berlaku di wilayah tersebut, dengan kata lain, tercapai suatu kepastian hukum. Kepastian hukum yang ada tentu saja memudahkan pengawasan, pengelolaan serta penanganan berbagai hal yang terjadi di Selat Singapura yang sibuk ini. Munculnya perubahan penetapan lebar laut teritorial suatu negara yang semula 3 mil menjadi 12 mil membuat klaim lebar laut teritorial yang diajukan Indonesia dan Singapura di Deklarasi Djuanda dan di tetapkan dalam ketentuan UNCLOS 1982, membuat batas maritim antara Indonesia dan Singapura (Harto
& Akmaludin, 2016); (Desuari
Sela, 2017).
Batas-batas wilayah suatu negara menempati posisi yang
penting dilihat dari aspek geografis, hukum maupun politis. Secara geografis,
batas wilayah menandai luas wilayah suatu negara yang meliputi daratan, lautan
dan udara yang ada di atasnya. Secara hukum, batas wilayah negara menentukan
ruang lingkup berlakunya hukum nasional suatu negara, sedangkan secara politik
batas wilayah negara merupakan akhir dari jangkauan kekuasaan tertinggi suatu
negara atas wilayah dan segala sesuatu yang ada di dalam wilayah tersebut (Rani & Desriani, 2014). Penetapan perbatasan wilayah tersebut dapat dilakukan sesuai ketetapan
hukum internasional agar dapat memberikan kepastian hukum terhadap kepemilikan
wilayah suatu negara. Begitu juga dengan permasalahan sengketa perbatasan
antara Indonesia dan Singapura atas tiga wilayah ini. Kedua Negara memiliki
klaim masing-masing atas ketetapan perbatasan wilayah yang didasarkan pada hukum
atau putusan masa lalu, seperti halnya Singapura dengan mengikuti penetapan
lebar laut teritorialnya meniru peraturan penetapan lebar laut teritorial
Inggris yaitu berdasarkan teori Cornelius. Teori Cornelius menetapkan lebar
laut teritorial suatu negara sejauh jangkauan rata-rata tembakan meriam yaitu 3
mil laut. Singapura mengeluarkan penetapan lebar laut teritorialnya sejauh 3
mil laut dari garis pangkal sejak tahun 1957. Sedangkan Indonesia memiliki
ketetapan penentuan batas wilayah sebagai Negara kepulauan dengan didasarkan
pada deklarasi Djuanda tahun 1957 mengenai penetapan lebar laut teritorialnya
sejauh 12 mil laut dari garis pangkal.
Hal ini diperburuk dengan dilakukannya reklamasi pantai oleh Singapura yang
meresahkan Pemerintah Indonesia terkait kekhawatiran akan bergesernya batas
territorial negara (Modeong, 2020).
Walaupun negara-negara kepulauan seperti Indonesia memiliki
kedaulatan penuh pada perairan kepulauan, UNCLOS 1982 mewajibkan negara kepulauan
memberikan hak lintas damai dan hak lintas alur kepulauan pada negara lain. Banyak
negara-negara yang berusaha untuk memberdayakan pulau-pulau kecil yang dimiliki
sekaligus penguasaan terhadap wilayah lautyang mengelilingi pulau tersebut demi
mensejahterakan masyarakat. Tak terkecuali Negara Kesatuan Republik Indonesia
yang saat ini menjadi negara kepulauan terbesar di dunia yang terletak di dua
benua yaitu benua Asia dan benua Australia, juga dua samudera yaitu: Samudra
Hindia dan Samudera Pasifik dengan konfigurasi lebih dari Tujuh Belas Ribu Pulau
yang tersebar diseluruh perairan Nusantara. Dari berbagai pulau tersebut,
Indonesia dikaruniai pulau-pulau kecil terluar yang memiliki kekayaan sumber
daya alam yang sangat berpotensi untuk pebangunan ekonomi (Modeong, 2020).
Metode Penelitian
Untuk
melakukan sebuah penelitian diperlukan sebuah desain atau rancangan yang berisi rumusan tentang objek yang diteliti. Metode penelitian yang diteliti ini adalah menggunakan metode penelitian kualitatif (Sugiyono,
2017). Mmetode ini dipilih karena penelitian kualitatif biasa dilakukan oleh peneliti dibidang ilmu sosial dan politik. Merujuk pada permasalahan yang diangkat serta variabel yang tersedia maka peneliti ini hanya melakukan analisa data berdasarkan data-data serta informasi yang dikeluarkan pemerintah Indonesia dalam upaya Indonesia menyelesaikan masalah batas maritim antara Indonesia dan Singapura berikut kendala yang dihadapi Indonesia dan juga tanggapan dari Singapura terkait upaya Indonesia dalam menyelesaikan masalah tersebut.
Kemudian diimplementasikan dengan teori-teori dalam kajian hubungan internasional.
Hasil
dan Pembahasan
1.
Dampak
Reklamasi Singapura
Mengacu
pada hukum internasional, pergeseran batas maritim Indonesia- Singapura dapat
terjadi pada bagian Timur dan Barat karena kedua negara belum menetapkan batas
maritimnya pada bagian tersebut. Selain itu, pergeseran juga dapat terjadi
karena Singapura menggunakan titik pangkal baru dalam penentuan batas maritim
tersebut. Reklamasi pantai telah mengakibatkan hilangnya titik pangkal-titik
pangkal awal Singapura yang digunakan untuk mengukur batas maritimnya, sehingga
Singapura dapat menentukan titik pangkal baru dari daratan hasil reklamasi.
Singapura
melakukan reklamasi pantai karena luas wilayah daratannya yang sempit. untuk
mengantisipasi perkembangan penduduk, serta pertimbangan ekonomi dan bisnis.
Reklamasi pantai dilakukan pada hampir seluruh wilayah pantainya karena
Singapura mengharapkan wilayah daratannya dapat bertambah kurang lebih 160 km2.
Bahan yang digunakan untuk mereklamasi pantai Singapura adalah pasir laut yang
diimpor dari negara-negara lain. Termasuk dari Indonesia, di Kepulauan Riau.
Reklamasi pantai telah berhasi memperluas wilayah daratannya sehingga pada tahun
2000 luas wilayah Singapura telah menjadi 766 km.
Pada
kenyataannya, pertambahan luas daratan Singapura tersebut telah menggeser jalur
pelayaran lautnya ke arah selatan, yang juga berarti laut teritorialnya pun
bergeser ke arah selatan. Reklamasi pantai yang menyebabkan pergeseran batas
maritim Indonesia- Singapura ke arah selatan tersebut akan menguntungkan pihak
Singapura karena wilayah dan kedaulatan teritorialnya bertambah luas. Namun
sebaliknya, reklamasi pantai Singapura akan sangat merugikan pihak Indonesia.
Wilayah perairan Indonesia maupun ruang udara di atas kawasan tersebut akan
berkurang, yang juga berarti Indonesia akan kehilangan kedaulatan teritorialnya
atas kawasan tersebut. Terdapat beberapa faktor yang mendorong pemerintah
Indonesia untuk segera menyelesaikan batas wilayah maritimnya dengan Singapura (Arsana, 2013); (Azizah, 2017).
Pertama, pemerintah Indonesia mengkhawatirkan reklamasi pantai yang dilakukan oleh
Singapura. Reklamasi pantai yang dilakukan Singapura tersebut telah berhasil
memperluas wilayah daratannya. Indonesia mengkhawatirkan perluasan wilayah
tersebut akan mengubah garis pantainya sehingga wilayah perairan Singapura
bergeser ke arah selatan. Pergeseran wilayah perairan Singapura berarti juga
akan mengakibatkan bergesernya batas maritim Indonesia dengan Singapura dan
wilayah perairan Indonesia di kawasan ini akan berkurang.
Kedua, kegiatan
penambangan pasir laut di Kepulauan Riau untuk diekspor ke Singapura telah
mengakibatkan abrasi pantai yang mengancam hilangnya titiktitik pangkal
Indonesia di wilayah ini. Penambangan pasir memang dianggap memberikan
kontribusi yang cukup besar terhadap Pendapatan Asli Daerah. Hampir 84%
komoditi yang diekspor oleh Propinsi Riau adalah pasir laut. Kegiatan
penambangan itu dilakukan secara besar-besaran sehingga hampir seluruh wilayah
perairan di Propinsi Riau sudah dikapling-kapling oleh para pengusaha. Hingga
Juni 2002 tercatat 67 perusahaan telah yang mengantongi izin melakukan
eksploitasi pasir laut, dan 300 perusahaan lainnya sudah memiliki izin
eksplorasi.
Ketiga, adalah
untuk menjaga keamanan wilayah teritorial Indonesia. Secara umum wilayah
perbatasan laut atau perairan Indonesia dengan negaranegara lain sering sekali
menghadapi ancaman teritorial oleh gerakan separatisme, penyelundupan,
perompakan dan illegal fishing. Untuk menanggulangi ancaman tersebut, angkatan
laut Indonesia mengadakan patroli pengamanan wilayah perairan Indonesia.
Namun belum adanya batas maritim yang jelas antara Indonsia dan Singapura
mengakibatkan angkatan laut kedua negara sering bentrok ketika melakukan
patroli pengamanan di daerah perbatasan. Ini pun akhirnya menjadi salah satu faktor yang
mendorong Pemerintah Indonesia untuk segera menyelesaikan penetapan perbatasan
antara Indonesia dengan Singapura (Novi Didik, 2014).
Pada tahun 2003 Indonesia mengeluarkan Kepmenperindag No.
117/MPP/Kep/2/2003 yang berisi Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut.
Pelarangan tersebut berlaku sejak tanggal 18 Februari 2003. Sejak itu Indonesia
menutup kegiatan ekspor pasir, terutama yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan
reklamasi pantai Singapura. Indonesia bersedia membuka kembali ekspor pasir
lautnya ke Singapura bila perjanjian batas maritim kedua negara telah selesai
disepakati (Soliman et al., 2015). Kondisi Pulau Nipa adalah salah satu
pulau yang berbatasan langsung dengan Singapura. Secara Administratif pulau ini
masuk kedalam wilayah Kelurahan Pemping Kecamatan Belakang Padang Kota Batam
Propinsi Kepulauan Riau. Pulau Nipa ini tiba tiba menjadi terkenal karena
beredarnya isu mengenai hilangnya/tenggelamnya pulau ini atau hilangnya titik
dasar yang ada di pulau tersebut. Hal ini memicu anggapan bahwa luas wilayah
Indonesia semakin sempit.
Pada kenyataanya, Pulau Nipa memang mengalami
abrasi serius akibat penambangan pasir laut di sekitarnya. Pasir pasir ini
kemudian dijual untuk reklamasi pantai Singapura. Kondisi pulau yang berada di
Selat Philip serta berbatasan langsung dengan Singapura disebelah utaranya ini
sangat rawan dan memprihatinkan. Pada saat air pasang maka wilayah Pulau Nipa
hanya tediri dari Suar Nipa, beberapa pohon bakau dan tanggul yang menahan
terjadinya abrasi. Pulau Nipa merupakan batas laut antara Indonesia dan
Singapura sejak 1973, dimana terdapat Titik Referensi (TR 190) yang menjadi
dasar pengukuran dan penentuan media line antara Indonesia dan Singapura.
2.
Indonesia Menolak Reklamasi Pantai Singapura sebagai Garis
Pangkal Perbatasan Singapura.
Ketegasan Indonesia
menolak reklamasi pantai Singapura sebagai garis pangkal penarikan batas laut Indonesia
dan Singapura di perlihatkan dalam pertemuan diskusi kedua negara. Meskipun
UNCLOS 1982 pasal 11 mengatakan bahwa untuk maksud penetapan batas laut teritorial,
instalasi pelabuhan permanen yang terluar yang merupakan bagian dari integral
dari sistem pelabuhan di anggap sebagai bagian dari pada pantai. Instalasi lepas
pantai dan pulau buatan tidak dianggap sebagai instalasi pelabuhan yang
permanen. Dari hukum UNCLOS tersebut dapat menjadi kekuatan Singapura dan ancaman
bagi Indonesia. Apabila memang benar reklamasi pantai yang dilakukan oleh
Singapura merupakan sebagai bagian instalasi pelabuhan dan demi untuk menajaga keselamatan
pelayaran Internasional. Maka Singapura bisa bersikeras untuk menggunakan garis
pangkal reklamasi pantai Singapura untuk penetapan perbatasan wilayah teritorial
terhadap Indonesia. Menyikapi hal itu, Indonesia berpegang teguh terhadap
UNCLOS Pasal 60 yang secara khusus membahas mengenai pulau buatan, instalansi
dan bangunan-bangunan di zona ekonomi eklusif. Lebih rincinya terdapat pada
Pasal 60 (8) pulau buatan, instalansi dan bangunan tidak mempunyai status
pulau, pulau buatan, instalansi dan bangunan tidak mempunyai laut teritorialnya
sendiri dan kehadirannya tidak mempengaruhi penetapan batas laut tertorial,
zona ekonomi eklusif atau landas kontinen.
Perkembangan hukum
internasional dapat memberikan peluang terbukanya konflik antar negara yang disebabkan
adanya keraguan dan perbedaan implementasi hukum laut pada setiap negara (Susanti & Afrizal, 2018); (Sollitan et al., 2020). Hal di atas merupakan salah satu contoh perkembangan hukum
laut internasional membuka peluang konflik perbatasan antara Indonesia dengan
Singapura. Singapura mereklamasi pantai untuk menambah luas daratanya dan juga
untuk kepentingan ekonominya mendirikan pelabuhan
dan bandar Internasional Changi Airport. Setelah melakukan perundingan tekhnis
delegasi yang difokuskan terhadap delimitasi perbatasan maritime antara kedua negara,
maka negara Singapura sepakat untuk tidak menggunakan reklamasi pantai sebagai
garis pangkal perbatasannya pada segmen timur Selat Singapura. Garis pangkal yang
digunakan oleh Singapura ditarik dari daratan alamiah Singapura. Dengan kata
lain, reklamasi pantai Singapura tidak merubah garis pangkal Singapura dalam
menyelesaikan permasalahan perbatasan dengan Indoenesia. Sedangkan untuk
Indonesia menggunakan garis pangkal lurus dan garis pangkal kepulauan dikarenakan
kondisi sekitar Pulau Batam dan Pulau Bintan yang terdapat banyak pulau-pulau
kecil. Serta penggunaan garis pangkal kepuluaaun oleh Indonesia sudah benar dan
tepat. Hal itu sesuai dengan hukum UNCLOS 1982 dalam pasal 47 mengenai garis pangkal
kepulauan. Suatu negara kepulauan dapat menarik garis pangkal lurus kepulauan
yang menghubungkan titik-titik terluar pulau-pulau dan karang kering terluar
kepulauan itu.
3.
Upaya penyelesaian sengketa matirim Indonesia dan Singapura
Upaya
pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan batas maritimnya dengan Singapura
telah dilakukan dengan berbagai cara. Indonesia dan Malaysia memilih
menyelesaikan sengketa maritimnya dengan jalur damai, sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 1 konvensi mengenai penyelesaian Sengketa-Sengketa Secara Damai
yang ditandatangani di Den Haag pada tanggal 18 Oktober 1907. Deklarasi tersebut
meminta agar semua negara menyelesaikan sengketa secara damai sedemikian rupa
agar perdamaian, keamanan internasional dan keadilan tidak sampai terganggu (Boer Mauna, 2016). Indonesia sendiri mengupayakan
pendekatan diplomasi melalui perundingan-perundingan bilateral dalam
penyelesaian sengketa ini.
a.
Perundingan Garis Batas Laut
Dibagian Tengah Selat Singapura; Kedua negara, untuk pertama kalinya melakukan perundingan perjanjian
tentang penetapan garis batas laut pada 1973. Dalam perundingan ini, Indonesia
dan Singapura menetapkan garis batas laut bagian tengah. Dalam perundingan ini,
kedua negara berhasil menentukan batas maritim bagian tengah yang berupa garis
lurus ditarik dari 6 titik (v-lines) yang koordinatnya telah disepakati kedua
negara. Dalam perundingan ini, Pulau Nipa dijadikan median line
Indonesia-Singapura. Perundingan ini ditandatangani oleh kedu
anegara pada 25 Mei 1973. dan diratifikasi oleh Indonesia pada 3 Desember 1973 (Defilla et al., 2016).
b.
Perundingan Garis Batas Laut Dibagian
Barat Selat Singapura; Setelah diselesaikannya perjanjian batas laut bagian tengah, Indonesia dan
Singapura kembali mengejar penyelesaian wilayah laut bagian barat. Kebijakan Singapura terkait reklamasi pantai yang dilakukannya telah
menimbulkan kekhawatiran bagi Pemerintah Indonesia. Hal tersebut dianggap
mengancam kedaulatan Indonesia dikarenakan dapat berpengaruh terhadap
pengukuran garis batas kedua negara. Selain itu abrasi pantai yang terjadi
karena akibat dari eksploitasi pasir dikhawatirkan dapat mengikis wilayah
pulau-pulau terluar. dengan ini Indoensia mulai gencar melakukan upaya
diplomasinya agar pemasalahan ini dapat cepat terselesaikan. Sehingga, sebagai bentuk diplomasi yang dilakukan pemerintah, pada 26 September
2001 Presiden Megawati bersama dengan Menko Polkam, Menko Perekonomian, Menko
Kesra dan Meneg BUMN melakukan kunjungan ke Singapura. Dalam pertemuan
bilateral tersebut, delegasi Indonesia bertemu dengan delegasi Singapura yang
terdiri dari PM Goh Chok Tong, Menteri Senior Lee Kuan Yew, Wakil PM/Menhan Dr.
Tony Tan, Menlu Jayakumar serta Menteri Pendidikan dan Menteri Pertahanan ke-2
Teo Chee Hean. Pertemuan bilateral tersebut
membicarakan upaya-upaya peningkatan dan kerjasama bilateral dan regional di
bidang politik, ekonomi dan sosial serta menyepakati untuk berupaya
menyelesaiakan masalah-masalah ”pending” diantara kedua negara yang selama ini
dianggap sebagai isu-isu sensitif melalui cara-cara perundingan yang sifatnya
“quiet diplomacy”. Pihak Indonesia mendesak pemerintah Singapura untuk
mengadakan pertemuan pejabat tinggi setingkat SOM diantara kedua negara untuk
menyelesaikan masalah-masalah tersebut (Defilla et al., 2016). Singapura meminta keluangan dalam melakukan
perundingan batas maritim Indonesia-Singapura karena negosiatornya sedang
melakukan perundingan masalah Pedra Branca. Pada 10 September 2003 dalam
kunjungan kerja Menlu Indonesia, Menlu Singapura menyampaikan kesediaannya
untuk menugaskan pejabat tingkat teknis untuk melakukan perundingan batas maritim
dengan Indonesia. Pada 28 Februari 2005 hingga 10 Maret 2009,
perundingan penyelesaian batas maritim bagian barat ini dilakukan. Dalam proses
perundinga, Singapura mengajukan proposal delimitasi wilayah laut teritorial
yang akan dirundingkan. Proposal-proposal tersebut meletakkan titik pangkal (basepoint)
diwilayah pantai hasil reklamasi yang telah mereka lakukan. Namun Indonesia
tetap mendasarkan posisinya pada Pasal 15 UNCLOS 1982 dan menolak menggunakan
hasil reklamasi sebagai dasar pengukuran. Perjanjian pada 2009 tersebut
menyepakati jarak antara garis pangkal
kepulauan Indonesia dengan garis batas kesepakatan yakni sepanjang 3950
m dan jarak antara hasil reklamasi (Singapura) dengan batas kesepakatan
sepanjang 1900 m. Terdapat 4 (empat) titik yang disepakati dalam perjanjian ini
dan titik-titk tersebut menambah panjang perbatasan laut territorial Indonesia
dengan Singapura di bagian barat Selat Singapura.
c.
Perundingan Garis Batas Laut
Dibagian Timur Selat Singapura; Setelah sebelumnya telah disepakati perjanjian laut wilayah
Barat dan Tengah antara Indonesia dan Malaysia, wilayah terakhir yang perlu
diselesaikan merupakan kawasan dibagian Timur. Batas Laut Wilayah di Bagian Timur Selat Singapura mencakup area perairan
antara Batam (Indonesia) dan Changi (Singapura). Penetapan garis batas Laut
Wilayah dilakukan dengan mengacu pada Konvensi PBB tentang Hukum Laut Tahun
1982 dan dirundingkan sesuai kepentingan nasional kedua negara. Pendatanganan
perjanjian wilayah Timur ini dilakukan pada 2-4 September 2014 oleh Susilo
Bambang Yudhoyono dan Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa ke Singapura (Novi Didik, 2014). Batas laut wilayah tersebut dituangkan dalam Perjanjian antara Republik Indonesia
dan Republik Singapura tentang Penetapan Garis Batas Laut Wilayah Kedua Negara
di Bagian Timur Selat Singapura (Treaty
between the Republic of Indonesia and the Republic of Singapore relating to the
Delimitation of the Teritorial Seas of the Two Countries in the Eastern Part of
the Strait of Singapore).
4.
Kerjasama Pengamanan Wilayah Perbatasan.
Kondisi kekuatan TNI dan Polri
di daerah perbatasan saat ini masih kurang memadai, mengingat panjangnya garis
perbatasan dan luasnya teritorial dengan beberapa negara baik di darat maupun
laut yang harus diamankan. Belum lagi keterbatasan sarana dan prasarana yang
dimiliki oleh TNI dan Polri, seperti kendaraan operasional, pospos pengamanan
perbatasan untuk mendukung tugas pengamanan daerah perbatasan. Keterbatasan sarana
jalan raya sepanjang daerah perbatasan dan kondisi medan semakin mempersulit
tugas TNI dan Polri untuk melaksanakan patroli perbatasan (Modeong, 2020). Padahal Kawasan adalah merupakan kawasan yang seharusnya
mendapatkan perhatian lebih dari negara. Pentingnaya kawasan perbatasan
dikarena setiap negara akan memiliki kepentingan nasionalnya tersendiri
terhadap kawasan perbatasan.
Mengembangkan strategi keamanan
daerah perbatasan untuk mempertahankan tetap tegaknya keutuhan dan kedaulatan
negara, melalui kesamaan visi dan misi bahwa daerah perbatasan merupakan bagian
integral dari NKRI dengan melakukan penanganan yang komprehensif dan
terintegrasi serta terselenggaranya stabilitas bidang pertahanan dan keamanan
serta kesejahteraan masyarakat. Strategi Pengamanan meliputi: (a) Mewujudkan
pengamanan daerah perbatasan negara; (b) Menjamin tetap tegaknya dan utuhnya
wilayah kedaulatan negara; dan (c) Mewujudkan terselenggaranya pertahananan negara
di daerah perbatasan.
Kepentingan nasional
negara dapat berupa kepentingan keamanan ataupun kepentingan ekonomi. Sehingga
setiap negara akan selalu berusaha untuk dapat mengamankan kawasan perbatasan
yang mereka miliki. Kawasan perbatasan itu sendiri akan selalu berdampingan dengan
kawasan perbatasan dari negara lainnya. sehingga akan melahirkan suatu
kerjasama pertahanan antara negara yang berbatasan. Tujuannya adalah untuk lebih
mempermudah dalam melakukan pengawasan dan pengamanan terhadap kawasan
Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan
bahwa penyelesaian batas maritim antara Indonesia dan Singapura diselesaikan
secara damai menggunakan langkah-langkah diplomasi. Dalam penyelesaian sengketa
wilayah ini juga, kedua negara yang sama-sama meratifikasi UNCLOS 1982 harus
mematuhi ketetapan-ketetapan hukum yang tertulis didalamnya. Dalam mengatasi reklamasi pantai oleh Singapura, Indonesia tetap berpegang
teguh pada pasa 15 UNCLOS yang mengatur penetapan garis batas laut teritorial
antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan. Hal ini, reklamasi pantai Singapura telah berhasil memperluas wilayah
daratannya menjadi 766 km2 pada tahun 2002. Hal inilah yang menjadi pemicu
pemerintah Indonesia untuk kemudian menggencarkan langkah-langkah diplomasi
dengan Singapura. Untuk melaksanakan perundingan tadi, terdapat
kendala oleh kedua negara. Seperti Pemerintah Singapura yang pada penyelesaian
batas wilayah laut terus menerus menghindar dalam tahapan penyelesaian sehingga
mengulur waktu penyelesaian masalah ini semakin lama.
BIBLIOGRAFI
Alihar, F. (2018). Kebijakan Pengelolaan Pulau-Pulau Terluar
Di Tinjuau Dari Aspek Kependudukan. Jurnal Kebijakan Sosial Ekonomi Kelautan
Dan Perikanan, 8(1), 39–51.
Arsana, I. M. A. (2013). Akankah Indonesia Kehilangan Pulau?
Belajar dari Kasus Sipadan-Ligitan, Pulau Berhala, Miangas hingga Semakau. Opinio
Juris, 12.
Azizah, S. (2017). Pengaturan Tentang Reklamasi Pantai
Berdasarkan Unclos 1982 dan Implementasinya di Indonesia. Jurnal Yuridis,
3(2), 49–60.
Boer Mauna. (2016). “Hukum Internasional :
Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era Dinamika Global”, (Bandung: PT. Alumni,
2016), hlm. 193.
Defilla, F., Haryono, D., & Edorita, W. (2016). Reklamasi
Singapura Terhadap Kedaulatan wilayah Republik Indonesia Berdasarkan Hukum Laut
Internasional. Riau University.
Desuari Sela, D. (2017). Kerjasama Indonesia-Singapura
Dalam Menyelesaikan Masalah Batas Maritim Antara Indonesia Dan Singapura.
Universitas Komputer Indonesia.
Harto, S., & Akmaludin, A. (2016). Diplomasi Indonesia
terhadap Singapura dalam Penetapan Garis Batas Laut di Bagian Timur Selat
Singapura. Riau University.
Mauna, B. (2016). Hukum Internasional: pengertian,
peranan, dan fungsi dalam era dinamika global. Alumni.
Modeong, I. (2020). Pengamanan Pulau-Pulau Terluar Indonesia
Berdasarkan Hukum Internasional Dalam Upaya Keutuhan Wilayah Negara Republik
Indonesia. LEX PRIVATUM, 8(3).
Novi Didik. (2014). RI-Singapura Tandatangani Perjanjian
Perbatasan. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/internasional/20140904165601-114-2511/ri-singapura-tandatangani-perjanjian-perbatasan
Rani, F., & Desriani, D. (2014). Strategi Pertahanan
Wilayah Pulau Terluar Indonesia terhadap Malaysia (Kasus Pulau Jemur di
Provinsi Riau). Riau University.
Soliman, S. M., Hagar, M., Ibid, F., & El Sayed, H.
(2015). Experimental and theoretical spectroscopic studies, HOMO–LUMO, NBO
analyses and thione–thiol tautomerism of a new hybrid of 1, 3,
4-oxadiazole-thione with quinazolin-4-one. Spectrochimica Acta Part A:
Molecular and Biomolecular Spectroscopy, 145, 270–279.
Sollitan, R. W., Posumah, D., & Rengkung, F. (2020). Potensi
Perubahan Garis Batas Indonesia-Singapura (Studi Kasus Reklamasi Di Pulau
Nipah). Jurnal Politico, 9(1).
Sugiyono. (2017). Metode Penelitian Kualitatif (S. Y.
Suryandari (ed.); 1st ed.). CV Alpabeta.
Susanti, N., & Afrizal, A. (2018). Upaya Greeanpeace
Menjaga Kawasan Pantai Indonesia Terkait Proyek Pulau Reklamasi Teluk Jakarta.
Riau University.