Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia – ISSN : 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 2,
No 12 Desember 2017
KEBIJAKAN
PEMERINTAH DI BIDANG PERIKANAN UNTUK PELESTARIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KESEJAHTERAAN NELAYAN
Duradin
Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
Email: duradinusgt@gmail.com
Abstrak
Masyarakat
nelayan/pesisir adalah suatu kesatuan sosial yang memiliki ciri spesifik yang
ditandai oleh mata pencaharian seperti menangkap ikan ke tengah laut.
Ketergantungan masyarakat nelayan terhadap sektor kelautan menjadi sangat
krusial akan keberlangsungan hidup
sehari-hari. Keadaan seperti ini menjadi
permasalahan sosial dan
ekonomi sebagai salah satu penyebab utama yang sangat pelik, yaitu pemenuhan
kebutuhan pokok yang semakin meningkat, mahal dan langka. Sehingga tidak mudah
untuk diatasi. Keadaan seperti ini menjadi permasalahan
utama masyarakat nelayaan dewasa ini. Pemerintah harus mampu
membuat kebijakan untuk memanfaatkan dan
menggali potensi terbesar sumber kekayaan kelautan dan perikanan, sehingga
dapat mengangkat derajat, martabat dan kesejahteraan masyarakat nelayan
khususnya. Besarnya potensi sektor kelautan seharusnya mampu memberi kontribusi
terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat khususnya masyarakat nelayan dan
dapat meningkatkan pembangunan yang merata. Namun pada kenyataannya
pembangunaan dan pemanfaatan di sektor pengelolaan sumber daya kelautan dan
perikanan masih sangat jauh dari kata maju. Keadaan seperti ini menempatkan
masyarakat nelayan saat ini masih merupakan masyarakat miskin baik secara
kultural maupun struktural, keadaan seperti ini semakin membuat kerentanan kemiskinan yang tinggi. Kondisi
tersebut yang berakibat kepada masalah problematika kaidah hukum yang harus
diterapkan di komunitas masyarakat nelayan. Pendekatan penelitian doctrinal,
dengan wilayah studi di Kota Tegal. Pada akhirnya
persoalan hukum dan proses penegakan hukum dalam komunitas masyarakat nelayan
membutuhkan penyelesaian tersendiri yang bersifat integral komprehensif
holistic, norma hukum di bidang perikanan dalam komunitas masyarakat nelayan
harus mampu menyelesaikan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi termasuk
pelanggaran dalam penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, agar
hukum dapat ditegakan untuk mencapai tujuan yang dicitakan yaitu keadilan,
kepastian dan kemanfaatan.
Kata
Kunci: Masyarakat Nelayan; Kemiskinan; Kebijakan Pemerintah
Pendahuluan
Ketidakmampuan masyarakat nelayan disebabkan beberapa
faktor. seperti minimnya modal usaha, keterbatasan ketrampilan, kurangnya
teknologi pendukung dan terbarukan, keadaan alam yang berbeda-beda dan
kurangnya perhatian dari pemerintah. Karena itu kemiskinan merupakan label yang
senantiasa melekat kepada eksistensi masyarakat nelayan diberbagai daerah
(Kusnadi:
2015). kesulitan masyarakat nelayan semakin
bertambah dikarenakan tekanan-tekanan sosial, ekonomi dan kurang
keberpihakannya kebijakan pemerintah saat ini.
Peranan Pemerintah dalam mengelola sumber
daya kelautan dan perikanan
yang sangat berlimpah dituntut untuk melakukan terobosan-terobosan melalui
penerapkan kebijakan strategis seperti pemberdayaan masyarakat nelayan (empowerment), merupakan kebijakan yang
sangat penting karena terkait dengan upaya mensejahterakan masyarakat. Dengan
Konsep pemberdayaan merupakan jawaban atas kegagalan paradigma pembangunan yang
terpusat dan berorientasi pada pertumbuhan pembangunaan yang selama ini selalu
terfokuskan di wilayah daratan/kota (Abdullah:
2002), yang mengakibatkan perbedaan kesejahteraan
antara masyarakat nelayan dengan masyarakat kota/darat, yang tergambar pada
sistem pembangunan yang tidak seimbang. Pemerintah selaku pemegang kekuasaan
tertinggi harus bertanggung jawab terhadap kebijakan dan pembangunan
kemaritiman dan kelautan yang sangat tertinggal.
Kurangnya perhatian dari pemerintah semakin bertambah
dikarenakan semakin menghilang dan sedikit warisan budaya kelautan yang ada.
Pemahaman dan teknologi yang lebih modern tentang pengolahan sumber daya kelautan
dan perikanan, seperti penerapan teknologi alat tangkap ikan yang ramah
lingkungan dan efektif. Dengan hanya mengandalkan sistem tradisional yang
sampai saat ini masih dipertahankan dan digunakan yang mengakibatkan
ketertinggalan bangsa ini di sektor kelautan dan kemaritiman dengan
Negara-negara lainnya.
Sejarah membuktikan dengan diawali masa penjajahan
bangsa Belanda (1806-1942 M) dan bangsa
Jepang (1942-1945 M), tidak banyak memberikan kontribusi peninggalan warisan
dan teknologi kelautan yang memadai, dikarenakan pada masa itu lebih
berkonsentrasi pada sektor yang lain seperti pertanian, perkebunan,
rempah-rempah dan lainnya.
Fenomena seperti itu masih terjadi sampai sekarang, sebagai
permulaan dari sistem pembangunan yang tidak seimbang dan tidak merata antara
pembangunan di masyarakat pesisir/nelayan dengan masyarakat di darat/kota yang
berlangsung cukup lama di Indonesia. Sehingga pembangunan di sektor kemaritiman
yang dilakukan oleh pemerintah di mulai dari awal lagi dan hanya memperbaiki sektor
fisik seperti perbaikan pelabuhan yang memiliki sekala besar dan beberapa
sarana dan prasarana yang dinilai strategis.
Dampak yang sangat terasa sampai saat ini lebih kepada
perkembangan teknologi untuk nelayan kecil dan nelayan sedang tidak mengalami
perubahan secara signifikan. Pemerintah dalam penerapan kebijakan dan bantuan
kepada masyarakat nelayan memiliki andil yang sangat sedikit dan tidak lebih
hanya sebagai simbol saja. Tanpa ada
perencanaan matang untuk jangka pendek mau pun jangka panjangnya. Kenyataan ini
mempertegas bahwa pemerintah masih terkesan menutup sebelah mata dalam
kesejahteraan dan melakukan pembiaran terhadap apa yang dilakukan oleh
masyarakat nelayan, dan yang lebih memprihatinkan lagi adalah bantuan-bantuan
tersebut hanya dinikmati oleh segelintir orang atau golongan saja.
Sampai saat ini masyarakat nelayan masih mengharapkan
kebijakan dan jaminan dari pemerintah terhadap beberapa permasalahan terkait
dengan pemenuhan kebutuhan pokok untuk operasional melaut, seperti jaminan keselamatan
(asuransi jiwa dan kerusakan kapal) akibat dari kecelakaan dan bencana alam,
jaminan ketersediaan bahan bakar dan jaminan kesetabilan harga sembako. Namaun
masih sering nelayan tidak melaut dikarenakan kebijakan pemerintah terkait
pembatasan penggunaan bahan bakar seperti solar.
Dampak dari kebijakan ini mengakibatkan kelangkaan dan
harga bahan bakar yang cenderung naik atau tidak setabil, kenaiakan harga
sembako, dan kenaikan harga barang-barang pokok lainnya, dengan kondisi seperti
ini mengakibatkan naiknya ongkos untuk melaut
dan semakin membuat sulitnya kehidupan masyarakat nelayan pada umumnya.
Selain tekanan di sektor kebijakan yang sangat
memberatkan, ternyata masih ada ancaman
di luar yang terus mengintai nelayan yaitu tentang perubahan cuaca/iklim (climate change).
Perubahan iklim menimbulkan
ketidaksetabilan lingkungan dan menyulitkan adaptasi sosial-ekonomi
komunitas-komunitas lokal yang kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada
hasil sumberdaya kelautan.
Pada
hakikatnya masyarakat nelayan selalu memegang teguh adat istiadat dan
norma-norma yang sudah ada sejak dahulu, seperti: prinsip saling
tolong-menolong, saling menghargai, keterbukaan, ramah-tamah, merasa
seperjuangan, merasa sepenangungan, dan sifat gotong-royong. Namun pada
kenyataannya di beberapa wilayah pesisir juga banyak norma-norma dan
aturan-aturan adat yang sudah tidak terpakai atau malah hilang karena sudah
tidak dipakai atau sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan jaman seperti
yang terjadi pada masyarakat nelayan di sepanjang Pesisir Jawa Utara (Pantura).
Begitu pun sama halnya dengan kebudayaan atau kerifan lokal sekarang ini banyak
yang terlupakan atau tidak terlestarikan oleh generasi penerus saat ini. Jika
berkaca pada fenomena tersebut dengan sendirinya kebudayaan asing mudah masuk
dan mempengaruhi kehidupan masyarakat nelayan.
Pada
prinsipnya masyarakat nelayan termasuk salah satu kelompok yang sulit untuk beradaptasi terhadap pola
kehidupan pada masyarakat lain khususnya yang memiliki sistem kebudayaan/Culture yang berbeda. perilaku seperti
ini sangat mempengaruhi kemajuan, dibandingkan dengan masyarakat Kota/Darat.
Tetapi perilaku tertutup pada masyarakat nelayan akan berubah menjadi sangat
terbuka pada masyarakat luar yang memiliki kebudayaan, mata pencarian atau
kegiatan usaha yang sama (sama-sama seorang nelayan). Perilaku seperti ini
tercermin dari beberapa pertukaran kebudayaan atau perkawinan dengan masyarakat
nelayan pendatang dari daerah lain atau pulau lain.
Percepatan
teknologi informasi di era saat ini, membuat kabar tentang efesiensi dan
efektivitas alat tangkap jenis ini dengan cepat menyebar ke wilayah-wilayah
pesisir lainnya,
seperti Kota Cirebon, Brebes, Tegal, Batang, Weleri
dan sepanjang Pesisir Pantura lainnya. Informasi tentang teknologi terbarukan
mengakibatkan meningkatnya penggunaan alat tangkap ikan jenis cantrang ini,
dengan menggunakan jaring cantrang
hasil
yang di dapat begitu banyak, membuat masyarakat nelayan tanpa harus berfikir
panjang untuk mengganti alat tangkap ikan tradisional dengan jaring cantrang,
tanpa memikirkan dampak negatip dan resiko dari penggunaan alat tangkap ikan
tersebut, kerusakan lingkungan yang disebabkan dari jaring cantrang ini
meliputi risiko
berupa kerugian materil dan imateriil.
Kerusakan
yang disebabkan dari penggunaan alat tangkap ikan jenis cantrang
ini mencakup, kerusakan sumber daya laut dan
biota yang terkandung didalamnya, seperti punahnya beberapa spesies ikan,
kerusakan terumbu karang, padang lamunan, coral’s,
hasil tangkap ikan berkurang dan lain sebagainya dikemudian hari, akan tetapi
karena tidak adanya aturan yang tegas sampai saat ini alat tangkap ikan jenis ini
masih banayak beroperasi di wilayah perairan Indonesia khususnya laut utara
Pulau Jawa.
Dengan
demikian, berdasarkan latar belakang di atas, penulis kemudian berkeinginan
melakukan penelitian terkait kebijakan Pemerintah perihal keberlangsungan
kelestarian hidup bawah laut dan kesejahteraan nelayan.
Metodologi
Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu penelitian doktrinal bahwa norma hukum
didefinisikan dalam perspektif tatanan kaidah hukum tertulis yang akan
diteliti berkaitan dengan keberlakuan ketentuan-ketentuan hukum di bidang
perikanan, keberlakuan kaidah hukum tersebut menjadi dasar untuk mengkaji
pelarangan penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan dan dapat
berakibat kepada kerusakan lingkungan hidup pantai dan laut.
Dalam
pandangan lain metode penelitian doktrinal memang diartikan sebagai sebuah
metode yang memunculkan ekspos sistematis terkait peraturan (Abdulkadir: 2004).
Peraturan yang dimaksud disini merupakan peraturan yang bersentuhan dengan
pengaturan kategori hukum tertentu. Sedang di sisi lain, metode penelitian ini
juga memungkinkan peneliti untuk melakukan analisis terkait hubungan
antarperaturan, memberi penjelasan terkait area-area penghambat, dan
memunculkan gambaran perkembangan mendatang.
Dalam
bukunya Teori dan Metodologi penelitian Hukum Normatif, Johnny Ibrahim (2006)
juga menerangkan bahwa jenis penelitian ini tidak semestinya penelitian umum,
sebab penelitian ini tidak membutuhkan penelitian lapang, melainkan hanya pengajian terkait dengan
perundang-undangan dan peraturan lain. Sedang menurut Ashshofa (2001), dalam
bukunya Metode Penelitian Hukum, metode doktrinal adalah normal berbentuk asas
normal. Selain itu, Ashshofa juga menambahkan bahwa selain daripada asas
normal, metode ini juga merupakan keadilan dan/atau peraturan yang telah
dibentuk-positifkan sebagai sebuah perundang-undangan.
Pada
tahap akhir, sebagaimana yang disampaikan oleh Marzuki (2010), penelitian hukum
normatif pada dasarnya menghasilkan sebuah argumen, pandangan, pendapat, konsep
dan hal-hal yang terkait dengan itu. Lebih jauh, Marjuki juga menambahkan
bahwa, hal-hal yang terkait dengan argumen sebagaimana yang telah disebutkan di
atas kemudian akan dijadikan sebagai preskripsi sebagai sebuah penyelesaian
masalah.
Hasil
dan Pembahasan
Masyarakat pesisir pada umumnya telah menjadi bagian
dari masyarakat yang pluraristik tapi masih tetap memiliki jiwa kebersamaan.
Artinya bahwa struktur masyarakat pesisir rata-rata merupakan gabungan
karakteristik masyarakat perkotaan dan perdesaan, sebab struktur masyarakat
pesisir sangat plural, sehingga mampu membentuk sistem dan nilai budaya yang
merupakan akulturasi budaya dari masing-masing komponen yang membentuk struktur
masyarakatnya.
Hal menarik adalah bahwa bagi masyarakat pesisir
Indonesia, hidup di dekat pantai merupakan hal yang paling diinginkan untuk
dilakukan mengingat segenap aspek kemudahan dapat mereka peroleh dalam berbagai
aktivitas kesehariannya, dua contoh sederhana dari kemudahan-kemudahan tersebut
diantaranya:
Pertama, bahwa kemudahan aksesibilitas dari dan ke sumber mata
pencaharian lebih terjamin, mengingat sebagian masyarakat pesisir
menggantungkan kehidupannya pada pemanfaatan potensi perikanan dan laut yang
terdapat di sekitarnya, seperti penangkapan ikan, pengumpulan atau budi daya
rumput laut dan sebagainya.
Kedua, bahwa mereka lebih mudah mendapatkan kebutuhan akan
MCK (Mandi, Cuci, Kakus) mereka dapat mengaksesnya secara lebih mudah.
Masyarakat pesisir, khususnya yang tinggal di wilayah
Indonesia, mempunyai sifat-sifat atau karakteristik tertentu yang khas atau
unik. Sifat ini sangat erat kaitannya dengan sifat usaha di bidang perikanan
itu sendiri. Karena sifat-sifat dari usaha perikanan sangat dipengaruhi oleh
faktor-faktor seperti lingkungan, cuaca, musim dan pasar. Maka karakteristik
masyarakat pesisir juga dipengaruhi oleh faktor-faktor tersebut
Kota Tegal memiliki potensi letak geografis yang
sangat strategis untuk pendaratan dan pemasaran hasil tangkap nelayan. Karena
keberadaan kota tegal tepat berada ditengah-tengah pulau jawa, fasilitas dan
struktur yang mendukung, potensi sumber daya ikan ini, seperti tempat
pendaratan dan pelelangan yang sangat terbuka, dan adapun macam-macam jenis dan
potensi perikanan terdiri dari beragam ikan dan hewan laut yang bernilai
ekonomis tinggi.
Kegiatan penangkapan ikan di perairan ini dilakukan
dengan menggunakan pancing ulur, jaring, dan berbagai alat tangkap lainnya,
yang merupakan jenis-jenis alat tangkap yang ramah lingkungan dan
direkomendasikan untuk digunakan di areal perairan, di samping alat tangkap
ikan yang ramah lingkungan tersebut, beberapa nelayan juga masih menggunakan
alat penangkapan ikan yang tidak ramah
lingkungan (unfriendly technology),
seperti jaring cantrang, arad, doggol.
Fenomena yang menarik perhatian banyak pihak adalah penggunaan Jaring Cantrang
(Mini Trawl’s).
Tingkat kerusakan penggunaan jaring cantrang terhadap lingkungan perairan
dan kelautan sangat signifikan dan mempunyai risiko yang sangat tinggi tinggi
terhadap nelayan dan lingkungan hidup. Namun kegiatan ini masih tetap dilakukan
bahkan dengan intensitas yang semakin tinggi. Sayangnya tidak ada data
kuantitatif yang akurat tentang isu ini, hanya secara kualitatif dirasakan
keberadaannya pada beberapa nelayan yang berada di Kota Tegal. Sudah tentu oleh
masyarakat nelayan setempat memiliki alasan-alasan yang kuat dalam penggunaan
alat tangkap ikan yang merusak ini. Oleh karena itu, dilakukan analisis yang
sistematis terhadap berbagai faktor yang di duga dapat mempengaruhi penggunaan
alat tangkap jenis ini, seperti faktor sosial, pendidikan dan ekonomi
(pendapatan).
Seseorang dikatakan miskin apabila belum mampu
memenuhi kebutuhan fisik manusia, meliputi papan, pangan dan sandang, mental
spiritual (pendidikan) dan sosial. Tingkat pemenuhan kebutuhan tersebut
ditentukan oleh tingkat pendapatan serta kemudahan dalam memperoleh materi
kebutuhan pokoknya, walaupun resiko yang dihadapi oleh nelayan terbilang besar
dalam mencari ikan di laut, namun demi memperjuangkan kehidupan yang lebih
baik, hal tersebut tetap masih dilakukan.
Kota Tegal terletak antara 109o8’-109o10’
bujur timur dan 06o50’-06o53’
bujur selatan.
Secara administarsi Kota Tegal di bagi dalam 4
kecamatan yang terbagi dalam 27 kelurahan. Dari kelurahan yang ada terdapat 4 kelurahan yang berbatasan dengan pantai yaitu Kelurahan Tegal Sari dan Kelurahan
Muara Reja (Kecamatan Tegal Barat), Kelurahan Panggung dan Kelurahan
Mintaragen (Kecamatan Tegal Timur). Adapun batas wilayah Kota Tegal adalah sebagai berikut:
-
Sebelah Utara : Laut Jawa.
-
Sebelah Timur : Kabupaten Tegal.
-
Sebelah Selatan : Kabupaten Tegal.
-
Sebelah Barat : Kabupaten Brebes
Kota
Tegal berada di jalur pantai utara Jawa Tengah, terletak 165 km sebelah barat
Kota Semarang atau 329 km sebelah timur Jakarta. terletak di antara
109°08’-109°10’ bujur
timur
dan 6°50’-6°53’ Lintang selatan, dengan wilayah seluas 39,68 Km² atau kurang
lebih 3.968 Hektar. Kota Tegal berada di
wilayah
Pantura, dari peta orientasi Provinsi Jawa Tengah berada di Wilayah Barat,
dengan bentang terjauh utara ke selatan 6,7 Km dan barat ke timur 9,7 Km.
Dilihat dari letak geografis, posisi Tegal sangat strategis sebagai penghubung
jalur perekonomian lintas nasional dan regional di wilayah Pantura yaitu dari
barat ke timur (Jakarta-Tegal-Semarang-Surabaya), dengan wilayah tengah dan
selatan Pulau Jawa (Jakarta-Tegal-Purwokerto-Yogyakarta-Surabaya) dan
sebaliknya. Dengan curah hujan yang
sangat rendah, temperatur (suhu) rata-rata kota ini mencapai 35 derajat celcius.
Masyarakat nelayan tidak hanya
bergantung pada faktor
kelautan dan menyebabkan explorasi besar-besaran terhadap sumber daya alam/laut yang ada, tetapi
dengan keahliannya masyarakat nelayan mampu bersaing di era globalisasi
sekarang ini. Meskipun menjadi nelayan merupakan
pekerjaan utama mereka, tetapi beberapa di antara nelayan memiliki sumber
pendapatan keluarga lain selain dari menangkap ikan. Seperti warungan, dagang,
dan tani.
Para
nelayan dalam melakukan kegiatan operasi penangkapan ikan menggunakan beberapa
jenis alat tangkap, yakni cantrang, gill net, payang. Berdasarkan pembagian
wilayah pengoperasiannya, jenis alat tangkap tersebut terbagi menjadi 2 (dua) kelompok, yakni kelompok alat
tangkap nelayan pinggiran yang wilayah pengoperasiannya hanya sampai dengan
sekitar 3-7 Mil, dan nelayan besar yang wilayah pengoperasiannya di atas 12 mil dengan fishing ground di sekitar Perairan Natuna di arah utara,
Bangka-Belitung di arah barat, dan Pulau Bawean hingga Pulau Kambing-Kambing di arah timur. Alat tangkap
yang digunakan oleh kedua kelompok juga berbeda. Nelayan pinggiran
menggunakan alat tangkap Gillnet,
payang, pancing, pukat pantai dan arad, sedangkan nelayan besar menggunakan
alat tangkap Purse Seine dan Cantrang.
Bagi
nelayan dengan kapal besar (muatan 50-100
GT) melintasi fishing ground bukan
merupakan faktor
pembatas yang utama, karena daya jangkau yang jauh memungkinkan bagi mereka
untuk memilih wilayah perairan mana yang akan dituju. Akan tetapi bagi nelayan
kecil, fishing ground adalah faktor pembatas yang utama, mengingat
wilayah perairan yang dapat di jangkau
hanya sekitar 75 km2, itu
pun
masih dikurangi wilayah daerah pantai dan daerah karang, batu dan beberapa spot
bahaya navigasi lainnya, belum lagi berhadapan dengan kapal besar yang masuk
kedalam wilayahnya penangkapannya kondisi seperti ini yang mengakibatkan hasil
tangkapannya menjadi sangat sedikit atau nelayan tradisional merugi.
Nelayan tradisional dalam menyikapi area
penangkapan yang sangat sempit dan semakin kurangnya hasil tangkapan membuat
para nelayan semakin selektif dalam memilih jenis alat tangkap.
Sistem dan Perundang-undangan sebagai
suatu kaidah dalam konsep pembangunan di sektor kelautan erat kaitannya akan
pemanfaatan dan pemberdayaan kekayaan laut di Indonesia jika di lihat pada Undang-Undang
Dasar Negara RI Tahun 1945 Pasal 33 ayat (3) menentukan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat.
Berdasarkan
ketentuan tersebut secara tegas diinginkan bahwa pelaksanaan penguasaan negara
atas sumber daya kelautan dan perikanan diarahkan pada tercapainya manfaat
sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Memang
benar ekonomi merupakan tulang punggung kesejahteraan masyarakat dan ilmu
pengetahuan adalah tiang-tiang kemajuan suatu bangsa, namun tidak dapat
disangkal bahwa hukum merupakan pranata yang menentukan bagaimana hasil yang
dicapai tersebut dapat dinikmati secara merata sehingga keadilan sosial
terwujud dalam kehidupan masyarakat dan kemajuan ilmu pengetahuan dapat membawa
kebahagiaan bagi rakyat banyak (Dembiritta: 2009).
Kenyataan
menunjukkan bahwa sumber daya ikan yang menjadi milik bangsa Indonesia
bertambah secara kuantitas dan kualitas: Hal ini berawal dengan dikembangkannya
konsep "Negara Kepulauan” (Archipelagic
Slate) (Raharjo, 2006: 29), yaitu dengan dikeluarkannya Deklarasi
Juanda (13
Desember 1957), yang merumuskan batas wilayah perairan laut Indonesia selebar
12 Mil, dan keberhasilan bangsa Indonesia di dalam memperjuangkan konsep hukum
negara kepulauan dalam Konverensi PBB tentang Hasil Laut, yang di tandai dengan
dirumuskannya ketentuan mengenai asas dan regim hukum negara kepulauan dalam
Bab IV Konvensi PBB tersebut, yang selanjutnya diratifikasi oleh pemerintah
Indonesia melalui penetapan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985, tentang Pengesahan “United Nations Convention on The
Law of The Sea”.
Berdasarkan
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS)
tahun 1982,
wilayah perairan laut Indonesia meliputi kawasan seluas 3,1 juta kilo meter, yang terdiri dari:
1.
2,8 juta kilo meter perairan kepulauan;
2.
0,3 juta kilo meter laut wilayah.
Di samping itu
Indonesia memiliki hak berdaulat atas sumber-sumber kekayaan alam serta
berbagai kepentingan yang melekat pada Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas 2,7
juta kilo meter dan hak Indonesia untuk tetap
berpartisipasi dalam pengelolaan dan pemanfaatan kekayaan alam di laut lepas,
di luar batas 200 mil Zona Ekonomi Eksklusif, serta pengelolaan dan
pemanfaatan. kekayaan alam dasar laut perairan internasional di luar batas
landas kontinen.
Adapun hak-hak yang
muncul sebagai konsekuensi dan adanya 8 (delapan) regim hukum dari UNCLOS tahun 1982. meliputi:
a)
Perairan pedalaman (internal waters);
b)
Perairan nusantara (archipelagic waters);
c)
Laut teritorial 12 mil (territorial sea);
d)
Zona tambahan (conliguos zone);
e)
Zona ekonomi eksklusif (exsclusive economic zone);
f)
Laut bebas (high seas);
g)
Landas kontinen (continental shelf); dan
h)
Dasar laut internasional (internationalsea bed).
Dengan
bertambah Iuasnya wilayah perairan Indonesia dengan segenap potensi sumber daya
alam dan jasa-jasa kelautan yang terkandung di dalamnya perlu diimbangi dengan
usaha-usaha pemanfaatan yang optimal dan terkendali, dengan memperhatikan
kelestarian lingkungan agar pemanfaatan potensi sumber daya alam dapat berlangsung
terus menerus.
Dalam Undang-Undang Nomor
9 Tahun 1985 tentang Perikanan,
dirumuskan beberapa persoalan yang dapat dijadikan dasar ataupun landasan untuk menggambarkan atau menguraikan
ruang lingkup bidang perikanan. Menurut
Undang-undang ini yang disebut dengan perikanan adalah semua kegiatan yang
berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya ikan (Pasal 1 butir 1), sedangkan yang di maksud dengan ikan
adalah semua jenis ikan termasuk biota perairan lainnya (Pasal 1 butir 2).
Berdasarkan pengertian di atas
dapat diketahui bahwa, pemanfaatan sumber daya ikan meliputi:
a.
Penangkapan ikan yaitu kegiatan yang
bertujuan untuk memperoleh ikan diperairan yang tidak dalam keadaan
dibudidayakan dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan yang menggunakan
kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, rnengolah dan mengawetkannya, Pasal 1 butir 6.
b.
Pembudidayaan ikan, yaitu kegiatan untuk
memelihara, membesarkan, dan atau membiakan ikan dan memanen hasilnya, Pasal 1 butir 9.
Kedua aktivitas
tersebut apabila dilakukan oleh perorangan atau badan hukum untuk tujuan
komersial maka aktivitas tersebut dinamakan usaha perikanan, Pasal 1 butir 5.
Apabila dilihat dari
segi pelaku perikanan maka selain perorangan atau badan hukum yang melakukan
aktivitas di bidang perikanan untuk tujuan komersial masih ada pelaku lain
yaitu nelayan yang menurut Undang-undang Perikanan adalah orang yang mata
pencahariannya melakukan penangkapan ikan. (Pasal 1 butir 10) dan petani ikan,
yaitu orang yang mata pencahariannya melakukan pembudidayaan ikan.
Lingkungan sumber daya
ikan, adalah perairan tempat kehidupan sumber daya ikan, termasuk biota, dan
faktor alamiah sekitamya,
Pasal
1 butir 12. Lingkungan sumber daya ikan Indonesia disebut juga wilayah
perikanan Indonesia meliputi:
a)
Perairan Indonesia;
b)
Sungai, danau, waduk, rawa dan genangan
air lainnya di dalam wilayah Republik Indonesia; dan
c)
Zona Eksklusif Indonesia, Pasal 2.
Pengertian-pengertian
di atas yang meliputi pelaku perikanan, wilayah perikanan dan aktivitas
perikanan perlu dikemukakan sehubungan dengan permasalahan yang akan dibahas
yaitu mengenai penegakan hukum terhadap penggunaan alat tangkap ikan tidak
ramah lingkungan di bidang perikanan.
Rumusan pengertian
seperti disebutkan dalam pasal-pasal
di atas menggambarkan, bahwa bidang perikanan bukan merupakan bidang (sektor)
yang sederhana. Melainkan sebaliknya, bahwa sektor perikanan merupakan sektor
yang kompleks. Kompleksitas sektor perikanan ini bukan hanya dikarenakan
kompleksnya persoalan-persoalan yang berada di dalamnya. Tetapi dikarenakan
keberadaan "perikanan" itu sendiri yang bersifat "multi-dimensional" atau dapat dianalisis dan dibahas
dari berbagai sudut pandang.
Kesimpulan
Pada sudut pandang tataran
konsepsional rumusan kebijakan
Pemerintah atau program yang hendak dilaksanakan untuk kepentingan nelayan dipandang sudah
baik, meskipun dalam perumusannya mengandung kelemahan karena dilakukan oleh
sekelompok elit atau aparat birokrasi Pemerintahan, pakar, pengamat, tanpa
membuka pemikiran mengenai realitas permasalahan yang sedang dihadapi
sebenarnya. Model pengambilan keputusan demikian disebut dengan model elit
masa. Sehingga keputusan tersebut memiliki beberapa kelemahan.
Kelompok sasaran selalu
dialokasikan sebagai obyek dari kebijakan pemerintah dan titak memiliki posisi
tawar (barganing position) yang cukup
ketika berhadapan dengan aparat pelaksanaan (birokrasi). Dampaknya adalah: (1). para nelayan merasa ketakutan untuk
pergi melaut, (2). para nelayan
semakin terpuruk perekonomiannya karena hanya melaut sebagai sumber utama mata
pencaharian nelayan, (3). para
nelayan semakin merasa dianaktirikan bahwa setiap kebijakan-kebijakan
pemerintah semakin menyulitkannya. Dilihat dari program yang telah
dilaksanakan, secara teoritis sebenarnya sudah mengakomodasi berbagai
problematika para nelayan. Namun kelemahan pada tataran perumusan sebagaimana
dijelaskan diatas tidak dieliminasi dengan baik oleh birokrasi pelaksanaan
dilapangan, sehingga memunculkan kelemahan baru, yaitu kelemahan operasional
atau cacat operasional. Yang berdampak lebih kepada persoalan sistematik yaitu:
(1). kelangkaan ikan atau hasil laut
yang menyebabkan pada harga ikan atau komoditi hasil laut mahal, (2). meningkatnya jumlah pengannguran,
dan (3). para nelayan akan menjadi
pencuri di dalam negerinya sendiri.
BIBLIOGRAFI
Abdulkadir,
Muhammad. 2004. Hukum dan Penelitian
Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Abdullah,
Piter. 2002. Daya Saing Daerah. Yogyakarta:
BPFE
Ashshofa,
Burhan. 2001. Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
PT Rineka Cipta
Dembiritta.
2009. Pemberdayaan Angkutan Laut
Pelayanan Rakyat dalam Upaya Peningkatan Daya Saing Usaha Kecil dan Menengah. Tesis
MIH Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati Cirebon
Ibrahim,
Jonny. 2006. Teori dan Metode Penelitian
Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing
Kusnadi.
2015. Pemberdayaan Perempuan Pesisir. Yogyakarta:
Penerbit Graha Ilmu
Marzuki,
Peter Muhammad. 2010. Penelitian Hukum. Jakarta:
Penerbit Kencana.
Raharjo,
Disasmita. 2006. Pembangunan Kelautan dan
Kewilayahan. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Republik
Indonesia. 1985. Undang-Undang Nomor
9
Tahun 1985 tentang Perikanan. Lembaran
Negara Nomor 46. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299. Jakarta: Administrasi
Negara Republik Indonesia.
_________________.
1985. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985
tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of The Sea (Konvernsi
Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Hukum Laut. Lembaran Negara Nomor 76.
Tambahan Lembaran Negara 3319. Jakarta: Administrasi Negara Republik Indonesia.