Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia – ISSN : 2541-0849

      e-ISSN : 2548-1398

      Vol. 3, No 5 Mei 2018

 


PELAKSANAAN DISKRESI KEPOLISIAN DALAM PENYELESAIAN TINDAK PIDANA LALU LINTAS STUDI DI  KEPOLISIAN RESOR KUNINGAN

 

Dicki Andika Martha dan Endang Sutrisno

Pascasarjana Universitas Swadaya Gunung Jati

Email: dickiandika16@gmail.com dan  endangsutrisno94@gmail.com

 

Abstrak

Penelitian Ini Dilakukan mengetahui dan menganalisis 1) pengaturan diskresi kepolisian dalam penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas oleh Kepolisian Resor Kuningan. 2). faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan diskresi kepolisian dalam penyelesaian perkara tindak pidana lalu lintas oleh Kepolisian Resor Kuningan. Metode penelitian yang digunakan adalah sosial legal dengan paradigma kontruktivisme, interaksionisme simbolik menjadi teknik analisis. Hasil penelitian menunjukan Delik perkara LP/12-21/48/VI/2015/Lantas yang di selesaikan dengan kewenangan diskresi untuk memberhentikan kasus di akhiri dengan penyerahan barang bukti dan surat pernyataan tunggal pihak keluarga. Isi pernyataan tunggal pihak keluarga dalam hal ini pelanggar sekaligus ayah yang menyatakan secara terbuka untuk pihak kepolisian tidak melanjutkan ke proses lebih lanjut melainkan cukup di laka lantas polres. Adanya isi pernyataan tunggal yang memohon perkara tidak diproses lebih lanjut merupakan salah satu faktor penyidik melakukan diskresi. Keputusan tidak menindaklanjuti perkara tersebut merupakan hasil proses dari pertimbangan yang meliputi situasi dan kondisi pelanggar yang merupakan ayah korban, pertimbangan moral atas dasar ketidaksepadanan hukum karena kondisi faktual, prilaku baik dan kooperatif pelanggar yang mempengaruhi tingkat empati, serta untuk menjaga ketentraman pelanggar yang sekaligus korban yang menderita karena kehilangan seorang anak hal ini didasari atas kepedulian akan hak asasi manusia. Dari analsis pertimbangan yang menjadi faktor-faktor pengambilan langkah diskresi penyidik dalam sebuah perkara tindak pidana lalu lintas tidak terlepas dari dasar kewenangan diskresi yang tertuang dalam regulasi serta ketertampilan penyidik dalam menyaring perkara berdasarkan bobot perkara tersebut, selain itu tingkat subjektivitas penyidik dipengaruhi oleh nilai moral hak asasi manusia dan pelaksanaan diskresi lebih kepada menjaga kepentingan umum serta institusi itu sendiri. 

 

Kata kunci : Diskresi, Kepolisian, Tindak Pidana Lalu Lintas

 

 

 

 

Pendahuluan

Angka Kecelakaan di Kabupaten kuningan termasuk masih cukup tinggi .Berdasarkan data yang penulis peroleh pada tanggal 3 Februari 2017 di Polres Kuningan bahwa jumlah kecelakaan lalu lintas di Wilayah Polres Kuningan semakin meningkat sejak dua tahun terakhir. Pada tahun 2015 sebanyak 154 kasus, dan tahun 2016 dari bulan Januari sampai bulan Desember sebanyak 180 kasus.

Banyaknya kasus kecelakaan lalu lintas selama kurun waktu 2 tahun terakhir dalam catatan Polres Kuningan menjadikan gambaran dalam permasalahan baru. Banyak faktor yang menjadi penyebab kecelakaan, namun salah satu yang paling banyak adalah karena adanya pelanggaran lalu lintas serta berkendara dengan baik sebagaimana dijelaskan dalam UU No 22 Tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan. Peraturan per-Undang-Undangan tersebut menjadi regulasi yang diharapkan dapat mengatur dan mentertibkan masyarakat dalam berlalulintas. Tetapi pada kenyataanya tingkat pelanggaran berlalulintas masih pada angka yang cukup signifikan di beberapa daerah. Indikator yang paling mudah adalah tingkat kecelakan yang terjadi di suatu wilayah.

Adapun pengertian dari kecelakaan lalu lintas dapat dilihat pada Pasal 1 Ayat 24 UU Lalu lintas No 22 Tahun 2009. Dalam keterangannya dijelaskan bahwa kecelakaan lalu lintas adalah suatu kejadian yang terjadi di jalan baik yang tidak terduga maupun tidak disengaja dengan melibatkan kendaraan dan atau pengguna jalan yang menelan korban ataupun tidak. Penyelesaian kasus kecelakaan tersebut perlu diselesaikan melalui jalur hukum formal atau peradilan yang berlaku (formal). Hal ini sebabagaimana dijelaskan dalam Pasal 230 UU Lalu Lintas. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa perkara kecelakaan lalu lintas diselesaikan melalui proses peradilan pidana. Pelaksanaan direksi dilakukan oleh anggota Kepolisian dengan dasar hukum yang tertuang dalam UU Kepolisian RI No 2 Tahun 2002 pada Pasal 18 Ayat 1, bahwa demi kepentingan umum pejabat kepolisian RI dapat melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya untuk bertindak menurut penilaiannya.

Dalam hal ini Polri sebagai ujung tombak sistem peradilan pidana, memiliki tugas dan wewenang dalam melakukan penyelidikan, penyidikan dan pemberantasan tindak pidana yang dilakukan secara terorganisasi dan sistematis di seluruh Indonesia sesuai dengan wilayah hukum satuan organisasi kepolisian, baik di tingkat pusat (Markas Besar Polri), Provinsi (Kepolisian Daerah), Kabupaten/Kota (Kepolisian Resor dan Kepolisian Resor Kota) sampai tingkat Kecamatan (Kepolisian Sektor).

Anggota Satuan Lalu Lintas Kepolisian Resor Kuningan memiliki kewenangan diskresi ketika menjalankan tugas dan kewajibannya dalam menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Diskresi tersebut dapat diterapkan dalam penanganan perkara pidana lalu lintas. Diskresi sebagai kebebasan anggota kepolisian dalam menentukan kebijakan dan putusan menurut pendapatnya sendiri.

Mengingat kewenangan direksi dari Kepolosian sangat luas, maka dibutuhkan persyaratan yang harus dimiliki oleh anggota. Ketentuan ini dibuat agar terhindarnya dari penyalahgunaan kewenangan pada anggota dalam membuat penilaian dan keputusan, sehingga hal tersebut tidak menjadi subyektif.

Kontradiksi antara teori negara hukum dan kewenangan diskresi penegak hukum dalam hal ini satuan lalu lintas di kepolisian menjadi latar belakang penulis tertarik menganalisis mengenai hal tersebut. Berdasarkan uraian latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam rangka menyusun tesis yang berjudul: “Pelaksanaan Diskresi Kepolisian dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas (Studi pada Kepolisian Resor Kuningan)”

 

Metode Penelitan                                        

Penelitian ini menggunakan pendekatan paradigma konstruktivisme. Paradigma ini memberikan dasar pada penelitian untuk melakukan pengamatan dan obyektifitas sehingga mendapatkan realitas atau ilmu pengetahuan. Paradigma ini merupakan dari disiplin ilmu sosial, sebagai bentuk analisis sistematis pada social meaningful action, yakni dengan melakukan pengamatan langsung terhadap fenomena sosial atau prilaku sosial. Teknik Pendekatan Penelitian yang digunakan oleh peneliti adalah sosial legal.

Sosio-legal sebenarnya 'konsep payung'. Yakni konsep dengan dasar segala pendekatan terhadap hukum, proses, maupun sistemnya. Proses pengamatan dalam penelitian ini tidak saja mendalami teks namun dengan kajian sosial-legal konteks, dengan mencakup berbagai proses yang terjadi dilapangan misalnya mulai dari 'law making' hingga 'implementation of law'. Kajian sosial legal meliputi berbagai macam disiplinnya dalam masalah hukum, seperti psikologi hukum, sosiologi hukum, sejarah hukum, antropologi hukum, ilmu perbandingan dan lain sebagainya (Tamanaha 1997: 2)

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan bentuk deskriftif analisis. Penelitian kualitatif adalah salah satu jenis penelitian yang memiliki data deskriptif, baik data tulisan maupun hasil wawancara dari narasumber yang diamati. Penelitian dilakukan di kepolisian Negara Republik Indonesia Resort Kuningan, khususnya di Satuan Lalu lintas Polres Kuningan. Penelitian hukum ini didukung oleh instrumen berupa pedoman wawancara dan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan judul penelitian. Data hukum yang disajikan dalam penelitian hukum ini diperoleh melalui 3 (tiga) bahan hukum, yaitu :

a. Data Primer

            Data primer adalah data yang penulis dapatkan/peroleh secara langsung melalui responden dengan wawancara terhadap pihak yang terkait dengan masalah penelitian. Data primer dalam penelitian ini akan menjadi sumber utama dari data yang akan di oleh. Adapun sumber data primer dari penelitian ini adalah data dari kasus lalu lintas serta sumber teks yang memiliki akurasi yang kuat dari penelitian.

a.       Data Sekunder

            Merupakan data yang diperoleh peneliti dari berbagai studi kepustakaan serta peraturan perundang-undangan, buku-buku literatur serta berbagai pendapat dari para ahli yang memiliki pandangan dalam masalah penelitian ini, yang terdiri dari

1)      Peraturan Perundang- Undangan, yaitu :

a.       Kitab UU Hukum Pidana UU No 1 Tahun 1946

b.      Kitab UU Hukum Acara Pidana UU No 8 Tahun 1981

c.       UU Kepolisian No 2 Tahun 2002

d.      UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan No 22 Tahun 2009

2)      Referensi teks baik berupa buku, makalah, artikel, junal yang membahas Tindak Pidana Lalu Lintas

b.      Data Tersier

adalah data yang termasuk pada golongan data pendukung penelitian. Artinya data tersier ini memiliki fungsi untuk memperkuat data primer dan data sekunder. Dengan demikian data tersier menjadi penguat dari data-data yang sudah ada dan sudah diinventarisir dalam data primer dan sekunder. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian penulisan hukum ini dilakukan dengan menggunakan data primer, yaitu dengan cara melakukan wawancara (interview) dan studi kepustakaan, adalah:

  1. Teknik Wawancara (Interview),

Adalah komunikasi verbal antara narasumber dan pewawancara, yang bertujuan untuk menggali informasi yang terkait melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti. Tahapan wawancara dalam penelitian ini adalah dimulai dari membuat instrumen pertanyaan yang berhubungan dengan masalah penelitian. Instrumen tersebut menjadi pedoman dalam wawancara dengan narasumber penelitian. Kemudian pertanyaan tersebut diajukan langsung oleh peneliti dengan berkomunikasi secara face to face. Adapun populasi sebagai narasumbernya adalah pihak penyidik di Kantor Kepolisian Satuan Lalu Lintas Resor Kuningan dengan penulis..

  1. Studi Kepustakaan,

Adalah studi teks dengan mencari informasi masalah penelitian atau data pendukung dari masalah penelitian ini melalui teks-teks bacaan atau referensi yang memiliki akurasi masalah yang sama dengan penelitian ini. Bentuk teks atau dokumen resmi seperti UU tentang kepolisian, lalu lintas dan seterusnya. Misalnya UU RI No 2 Tahun 2002, UU RI No 14 Tahun 1992. Dimana Undang-Undang tersebut menjadi data sekunder dalam penelitian ini dan berdasarkan pengelompokan yang tepat dan benar.

 

Hasil dan Pembahasan

Analisis  Diskresi Pada Delik Tindak Pidana Lalu Lintas di Polres Kuningan

Setiap produk Undang-Undang yang mengatur kewenangan Polisi, selalu mencantumkan kewenangan blanko yang isi kewenangan itu diserahkan kepada Polisi sendiri untuk menentukannya. Kewenangan itu tidak lain kewenangan diskresi penyidik. Dalam kewenangan tersebut, seorang aparat penegak hukum yang dalam hal ini adalah Polisi mempunyai kewenangan yang sangat penuh dalam mengambil sikap serta tindakan untuk melakukan wewenang diskresi dalam menyaring perkara pidana yang dianggap ringan serta tidak efektif bila diselesaikan melalui Proses Peradilan Pidana, maka dari itu diskresi penyidik sangat berkaitan erat dengan keefektifan suatu perkara.

Pasal 18, UU No 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI, secara exsplisit pengertian diskresi Kepolisian adalah bentuk pelayanan publik yang bertujuan untuk kemaslahatan umum dalam melaksanakan tanggungjawabnya setiap anggota Polri dapat mengambil keputusan dan kebijakan sendiri. Tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab dalam pemaknaan secara simbolik mengarah kepada diskresi dengan pertimbangan penialian sendiri untuk kepentingan umum hal ini sesuai pernyataan informan internal yang menjadi subjek diskresi.

Teori Samual Walker dalam point dalam situasi khusus dapat dimaknai sebagai tindakan atau sasaran yang digunakan oleh penyidik harus memperhitungkan besar kecilnya atau berat ringan suatu objek, hal ini sesuai Pernyataan informan internal yang menjelaskan bahwa perkara yang tersangkanya kurang pantas atau ditangani diluar proses hukum, hal ini lebih baik daripada di proses yang akan mengakibatkan kondisi jauh lebih buruk dalam kaca mata nilai keadilan serta institusi.

Kecelakaan lalu lintas dapat terjadi karena kelalaian atau kealpaan seseorang menyebabkan orang lain meninggal dunia dan luka-luka yang dapat diancam pidana sesuai UU nomor 22 tahun 2009. Kasuistik yang mejadi contoh penerapan diskresi pada tindak pidana lalulintas adalah berkas kasus perkara LP/12-21/48/VI/2015/Lantas. Dalam laporan tersebut dijelaskan bahwa telah terjadi kecelakaan tunggal sepeda motor roda 3 (Tiga) nomor polisi A-5730-GF yang dikemudikan oleh sdr Nono Sudarsono dengan penumpang Muhammad Nidomudin dan Rexa Dwi Putra pada hari Selasa, tanggal 02 bulan Juni tahun 2015 sekitar pukul 10.00 WIB di Jalan umum Desa Pancalang Kecamatan Pancalang Kabupaten Kuningan. Kecelakaan tunggal tersebut terjadi karena pengemudi kurang berhati-hati dan kurang konsentrasi sehingga kendaraan oleng ke bahu jalan masuk kedalam parit dan terbalik, kecelakaan tunggal tersebut mengakibatkan 1 (satu) orang penumpang mengalami luka ringan dan 1 (satu) orang penumpang mengalami luka berat dan akhirnya meninggal dunia di rumah sakit Dari penjelasan kasus tersebut dapat dikatakan bahwa kasus kecelakaan lalu lintas tersebut dikategorikan sebagai kecelakaan berat.

Dalam berkas pelaporan yang di berkaskan oleh Iping Alikin dengan pangkat Briptu selaku penyidik pembantu dari penyidik H. Iwan Setiawan, S.H. dengan pangkat Ajun Komisaris Polisi dalam berkas laporan menetapkan kejadian tersebut melanggar pasal 310 ayat 1 dan 4 UU 22 tahun 2009. Dimana pasal tersebut menyatakan bahwa bagi seseorang yang mengendarai kendaraan bermotor dan melakukan kelalaian dalam tindakannya dan mengakibatkan kecelakaan atau kerugian baik berupa materil maupun non materil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 Ayat 2, maka dapat dikenakan pidana dengan hukum pidana selama 6 bulan atau sedikitnya dikenakan denda sebanyak Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah). Kecelakaan yang dimaksud dalam ayat 3 adalah berupa kecelakaan yang menelan korban jiwa akan dikenakan pidana penjara selama 6 tahun atau paling sedikit dikenakan denda sebanyan 12.000.000,00 (dua belas juta rupiah)

Dalam berjalannya proses penyidik akhirnya tidak melanjutkan pelaporan ke intansi lebih lanjut dalam hal ini pengadilan. Penyidik menggunakan kewenangan diskresi sesuai kewenangan yang diberikan oleh Undang-undang kepolisian. Setiap produk Undang-Undang yang mengatur kewenangan Polisi, selalu mencantumkan kewenangan blanko yang isi kewenangan itu diserahkan kepada Polisi sendiri untuk menentukannya. Kewenangan itu tidak lain kewenangan diskresi penyidik. Dalam kewenangan tersebut, seorang aparat penegak hukum yang dalam hal ini adalah Polisi mempunyai kewenangan yang sangat penuh dalam mengambil sikap serta tindakan untuk melakukan wewenang diskresi dalam menyaring perkara pidana yang dianggap ringan serta tidak efektif bila diselesaikan melalui Proses Peradilan Pidana, maka dari itu diskresi penyidik sangat berkaitan erat dengan keefektifan suatu perkara.

            Diterapkannya diskresi pada perkara tersebut tidak terlepas dari asa keperluan sesuai statment informan internal yang menyatakan “diskresi adalah tindakan kepolisian yang dianggap perlu dengan tanpa melangggar norma hukum lainnya” keputusan  diskresi dalam perkara tersebut dengan menghentikan perkara tidak terlepas dari analsis penyidik bahwa apa yang diputuskan tidak melanggar norma lainnya, analisis peneliti meliahat bahwa point tidak melanggar norma lainnya karena dalam perkara ini tidak ada khalayak atau kepentingan umum yang dirugikan karena ini merupakan kecalakaan tunggal diaman koraban yang menjadi tersangka dalam penilaian penyidik tidak mungkin melakukan hal tersebut dengan sengaja apalagi sampai menimbulkan korban yang merupakan anak kesayangannya. Bisa dikatakan penyidik perlu menghentikan kasus untuk kesesuaian kadar hukum demi nilai keadilan.

            Atas penilaian berdasarkan asas keperluan serta pertimbangan keseimbangan hukum maka kewenangan diskresi diambil dalam perkara tersebut, diskresi yang diterapkan adalah diskresi bebas, Sebagaimana dikemukakan oleh Prayudi Atmosudirdjo (M. Faal:1991) bahwa terdapat dua jenis diskresi, yaitu

a.      Diskresi bebas, dimana setiap tindakan tidak perlu didasarkan atas ketentuan perundang-undangan; dan

b.             Diskresi terikat, dimana setiap tindakan adalah hasil pilihan dari beberapa alternatif yang terdapat di dalam peraturan perundang- undangan, sehingga pemilihan salah satu alternatif adalah bebas.

Peneliti menangkap dalam interaksi simbolik dengan informan internal untuk Kasus perkara LP/12-21/48/VI/2015/Lantas bahwa penyidik mempertimbangkan asas keseimbangan. Secara subjektif peneliti meilihat inteksi dimana penyidik menilai apakah seimbang jika seorang ayah yang sedang kehilangan anaknya harus menempuh penderitaan berupa hukuman penjara. Hal ini menjadi salah satu pertimbangan penyidik  yang peneliti kontruksikan dengan teori menurut Hr abdusallam.

Terbinanya ketentraman dan menjunjung tinggi hak asasi manusia merupakan point yang menjadi pertimbangan pihak penyidik untuk tidak melanjutkan perkara tersebut karena akan mengganggu ketetraman pihak keluarga yang mengalami kehilangan dalam hal ini pengendara neno sekaligus ayah dari korban. Selain peneliti secara subjektif berpendapat salah satu pertimbangan perkara tidak dilanjutkan melihat teori faal yang berbunyi :

Sampai dimana sikap-sikap atau rasa hormat pelanggar hukum itu terhadap petugas, kalau seandainya tersangka bersikap tidak simpatik, melawan, keras kepala, maka sikap- sikap ini akan mempengaruhi petugas di dalam menentukan pemberian wewenang diskresi itu.

Hasil observasi dan diskusi peneliti melihat Penyidik memutuskan untuk mengambil langkah diskresi karena melihat pelangggar  mempunyai sikap yang simpatik sehingga mempengaruhi kewenangan proses hukum positif, moral yang baik akan membuat efek kepada yang baik dalam bentuk empati penyidik kepada si pelanggar, empati ini menimbulkan rasa iba dimana sorang ayah tidak mungkin sengaja melakukan kelalaian mengemudi sehingga menyebakan anak kesayangannnya meninggal.

Situasi atau kondisi-kondisi yang mengharuskan Polisi menerapkan kebijakan (diskresi) tersebut disebabkan menurut Abbas Said karena Kontradiksi atau inkonsistensi diantara dua hukum bila “incompatible legal effects are attached to the same factual conditions” (efek hukum yang tidak sepadan diberikan pada kondsi faktual yang sama). Teori Abbas Said mengenai situasi yang mengharuskan penyidik mengambil langkah menghentikan kasus tersebut adalah ketidak sepadanan hukum yang diberikan dengan kondisi faktual. Konsisi faktual dalam delik perkara LP/12-21/48/VI/2015/ Lantas adalah kecelakaan tunggal dimana korban meninggal adalah anak pengemudi yang melanggar pasal 310 ayat 1 dan 3, peneliti melihat keputusan penyidik dlam hal melihat situasi bahwa akan terjadi ketidaksepadanan hukum jika pasal tersebut dilanjutkan. Pengemudi adalah ayah korban yang sedang dalam rasa kehilangan, dan pihak keluarga pun tidak mempermasalahkan karena meyakini bukan kesengajaan melainkan Takdir tuhan YME, kecelakaan yang terjadi adalah situasi tak terduga sehingga meninggalnya korban bukan atas tindak kejahatan melainkan ketidaksengajaan jika penyidik tetap melanjutkan tindak pidana maka akan menambah kesedihan keluarga yang ditinggalkan termasuk pengemudi itu sendiri.

Delik perkara LP/12-21/48/VI/2015/Lantas yang di selesaikan dengan kewenangan diskresi untuk memberhentikan kasus di akhiri dengan penyerahan barang bukti dan surat pernyataan tunggal pihak keluarga. Isi pernyataan tunggal pihak keluarga dalam hal ini pelanggar sekaligus ayah yang menyatakan secara terbuka untuk pihak kepolisian tidak melanjutkan ke proses lebih lanjut melainkan cukup di laka lantas polres. Adanya isi pernyataan tunggal yang memohon perkara tidak diproses lebih lanjut nerupakan salah satu faktor penyidik melakukan diskresi. Keputusan tidak menindaklanjuti perkara tersebut  merupakan hasil  proses dari pertimbangan yang meliputi situasi dan kondisi pelanggar yang merupakan ayah korban, pertimbangan moral atas dasar ketidaksepadanan hukum karena kondisi faktual, prilaku baik dan kooperatif pelanggar yang mempengaruhi tingkat empati, serta untuk menjaga ketentraman pelanggar yang sekaligus korban yang menderita karena kehilangan seorang anak hal ini didasari atas kepedulian akan hak asasi manusia.

Dalam pelaksanaan diskresi yang terjadi tersebut sesuai asas umum terutama asas berhubungan dengan harkat dan martabat manusia sesuai pernyataan Ibnu Artadi dalam pelaksanaan diskresi oleh polisi , diharapkan dapat menjadi perhatian, khusunya asas-asas umum yang telah dijadikan landasan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di indonesia, yaitu asas dasar ajaran sifat melawan hukum materiil, asas penyelenggaraan peradilan yang baik dan asas-asas yang berhubungan dengan harkat mertabat manusia kemudian dijadikan landasan dan tolak ukur, sehingga penyimpangan – penyimpangan yang mungkin saja terjadi dapat diminalisir sampai ambang terendah.

Pemberhentian perkara dimana tersangka merupakan bapa kandung korban merupakan bentuk keputusan yang menjunjung tinggi harkat martabat manusia dalam hal ini seorang bapa yang kehilangan seorang anak dalam kecelakaan yang tentunya tidak ada maksud disengaja. Ini bentuk pertimbangan subjektif polisi yang mempertimbangkan rasa kehilangan yang tentunya jika pidana ini dilanjutkan akan menghancurkan ranah kemanusian dan meruntuhkan harkat martabat seorang manusia dalam hal ini seorang ayah dari anak yang menjadi korban kecelakaan tersebut.

 

Analisis Pertimbangan penyidik yang menjadi faktor Pelaksanaan Diskresi dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Lalu Lintas

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa kewenangan diskresi kepolisian dimiliki oleh setiap anggota kepolisian pada saat menjalankan tugas dan fungsinya, sehingga hal ini menjadi faktor pendorong untuk dapat diterapkannya diskresi Kepolisian. Secara naluriah sebagai seorang aparat penegak hukum, seorang Polisi secara naluriah akan memiliki kepekaan dalam situasi dan kondisi tertentu untuk mengambil “tindakan lain”. Namun, aturan hukum mengenai diskresi ini lebih bersifat umum dan ‘sekedar’ memberikan kewenangan saja tidak diiikuti dengan petunjuk dan standart yang rinci dan jelas. Sampai sejauh mana penerapan kewenangan itu dapat dipertanggungjawabkan, merupakan suatu hal yang harus selalu diperhatikan.Hal inilah yang kemudian menyebabkan diskresi kepolisian dalam penyidikan menjadi sulit untuk dilakukan.

Menurut Ibnu Artadi ada hal pokok sifatnya yang melekat pada makna diskresi. empat hal pokok itu merupakan dasar yang menjadi faktor dalam pelaksanaan diskresi, empat hal pokok tersebut antara lain:

1.      Adanya kemerdekaan atas inisiatif sendiri yang dilakukan secara spontan, bebas, mandiri, konstektual, rasional ,sesuai dengan kebijaksanaannya dalam membuat keputusan diskresi.

2.      Adanya tindakan berupa keputusan diskresi didasarkan pada otoritas/ wewenang yang dijamin oleh hukum.

3.      Adanya tindakan berupa keputusan diskresi tidak didasarkan sepenuhnya pada undang-undang, melainkan juga pada norma moral.

4.      Adanya tindakan berupa keputusan diskresi harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral hukum.

Sementara pertimbangan-pertimbangan yang menjadi faktor seorang penyidik menerapkan kewenangan diskresi berdasarkan beberapa prinsip-prinsip yang ada di masyarakat, prinsip tersebut berupa nilai-nilai yang menjadikan seorang penyidik dipengaruhi oleh moral. Disisi lain kewenangan langkah pengambilan kewenangan diskresi bisa dikarenakan perintah atasan demi terciptanya ketertiban demi kepentingan umum. Kewenangan khusus dalam ketentuang peraturan dalam Pasal 6 Ayat 1 kitab UU Hukum Acara Pidana No 8 Tahun 1981 dapat diintrepetasikan sebagai pengambilan keputusan dalam bentuk diskresi, hak kewenangan khusus tentunya di implementasikan dalam bentuk kewajiban-kewajiban yang mesti diketahui serta dilaksanakan. Kewajiban-kewajiban tersebut terdapat dalam Pasal 7 KUHAP yang dijadikan dasar pedoman dalam melakukan suatu tindakan penyelidikan atau penyidikan.

Dalam hubungannya dengan wewenang untuk menghentikan penyidikan, kewenangan ini hanya dilakukan hanya dalam hal penyidik menganggap perlu. Akan tetapi dalam pelaksanaannya dalam penghentian penyidikan juga dapat dilakukan melalui langkah perdamaian secara kekeluargaan dari pelaku dan  korban serta tindakan lain dari penyidik yang bertanggung jawab dalam rangka menyaring suatu tindak pidana yang dianggap ringan. Hal tersebut sesuai dengan penjelasan informan internal yang menyatakan bahwa “Tindakan diskresi dilakukan juga karena untuk menyaring perkara, mana perkara yang ringan dan perkara berat. Apabila terjadi kecelakaan lalu lintas dan merupakan kasus yang ringan maka dilakukan diskresi.”

Dari analsis pertimbangan yang menjadi faktor-faktor pengambilan langkah diskresi penyidik dalam sebuah perkara tindak pidana lalu lintas tidak terlepas dari dasar kewenangan diskresi yang tertuang dalam regulasi serta ketertampilan penyidik dalam menyaring perkara berdasarkan bobot perkara tersebut, selain itu tingkat subjektivitas penyidik dipengaruhi oleh nilai moral hak asasi manusia dan pelaksanaan diskresi lebih kepada menjaga kepentingan umum serta institusi itu sendiri

 

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan antara lain sebagai berikut:

1.    Analsisi Penerapan diskresi oleh Satuan Laka Lalu Lintas Kepolisian Resor Kuningan merupakan salah satu alternatif penyelesaian perkara pelanggaran lalu lintas di luar pengadilan yang dipilih dan diterima oleh masyarakat. Penerapan diskresi pada Kasus perkara LP/12-21/48/VI/2015/Lantas dimana merupakan kecelakan tunggal penyidik dalam laporannya menyebutkan bahwa telah terjadi pelanggaran pasal 310 ayat 1 dan 4 UU 22 tahun 2009, semestinya pelanggar terancam dipidana penjara tetapi atas pertimbangan akhirnya kasus tidak dilanjutkan ke pengadilan, penyelesaian secara tertulis dengan cara pelanggar membuat pernyataan tunggal yang berisikan bahwa pihak keluarga dalam hal ini pelanggar sekaligus ayah yang menyatakan secara terbuka untuk pihak kepolisian tidak melanjutkan ke proses lebih lanjut melainkan cukup di laka lantas polres, selanjutnya pihak kepolisian menyerahkan barang bukti berupa kendaraan yang digunakan saat kejadian kecelakaan tersebut.

2.    Kasuistik pada penerapan diskresi perkara LP/12-21/48/VI/2015/Lantas dimana penyidik dipengaruhi oleh faktor pertimbangan yang layak dan masuk akal demi nilai hak asasi manusia, penyidik mempertimbangkan bahwa perkara LP/12-21/48/VI/2015/Lantas adalah kecelakaan tunggal dimana pelanggar adalah ayah korban yang jika di kontruksikan dengan akal penyidik maka tidak mungkin seorang ayah melakukan kelalaian dengan sengaja dalam berkendaraan sehingga menyebabkan anak nya yang masih berumur 4 tahun meninggal.  selain itu rasa empati akan kondisi dimana seorang ayah yang sedang kehilangan anaknya harus menanggung beban penderitaan tambahan berupa ancaman dipenjara tentunya ini menjadi pertimbangan yang kuat dan mempengaruhi penyidik mengambil langkah diskresi demi moral dan  Hak asasi manusia. Sehingga dapat disimpulkan bahwa Faktor–faktor mempengaruhi dalam penerapan diskresi pada penelitian ini lebih kepada tindakan penyidik itu sendiri untuk kepentingan penyidikan dimana penyidik tetap menjalankan syarat-syarat sesuai kewenangan diskresinya seperti, Tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya, Atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa, Menghormati hak asasi manusia.

 

 

BIBLIOGRAFI

 

Artadi Ibnu. 2006. Hukum Pidana dan Dinamika Kriminalitas. Syariah Hukum Fakultas Unswagati: Cirebon

Azhari. 1995. Negara Hukum Indonesia Analisis Yuridis Normatif Terhadap Unsur-Unsurnya: Jakarta.

Andi Hamzah, 2000. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Sinar Grafika: Jakarta.

Abdussalam, H.R. 2009. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum. Restu Agung: Jakarta.

Barda Namawi Arif. 1996. Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.  Citra Aditya Bakti: Bandung.

Chazawi. Adami. 2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di Indonesia. Bayumedia Publishing: Malang.

C.S.T. Kansil dan Christine. 1995. Disiplin Berlalu Lintas di Jalan Raya. Penerbit Rineka Cipta: Jakarta.

Evi Hartanti. Tindak Pidana Korupsi. PT. Sinar Grafika: Jakarta.

E. Y. Kanterdan S. R. Sianturi, 2002. Asas Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya. Storia Gratifika: Jakarta.

Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan. cet VII. Sinar Grafika:  Jakarta.

 Hamzah Andi. 2001. Bunga Rampai Hukum Pidana dan Acara Pidana. Ghalia Indonesia: Jakarta

H.R. Abdussalam. 2009. Hukum Kepolisian Sebagai Hukum Positif dalam Disiplin Hukum. Restu Agung: Jakarta.

Irianto Sulistyowati dkk. 2012. –Ed.1. Kajian sosio-legal/ –Denpasar: Pustaka Larasan; Jakarta.

Lamintang  P.A.F. 1996. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Citra Adityta Bakti: Bandung.

Moleong Lexy. J.  2006. Metode Penelitian Kualitatif. Remaja Rosda: Bandung.

M.Faal. 1991. Penyaringan Perkara Pidana Oleh Polisi (Diskresi Kepolisian).  Pradinya  Paramita: Jakarta.

Moelyatno,2000. Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta Jakarta

Muladi, 1985. Lembaga Pidana Bersyarat. Alumni, Bandung.

Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya; Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, Bagian Umum Dan Penyidikan . Liberty, Yogyakarta

Prakoso, Djoko, 1987. Polri Sebagai Penyidik Dalam Penegakan Hukum, PT. Bina Aksara, Jakarta.

Prasetyo  Teguh. 2012. Hukum Pidana. Rajawali Press: Jakarta.

Puspa, Yan Pramadya. 1977. Kamus HukuM. Aneka Ilmu: Semarang.

Putranto LS.  2008. Rekayasa Lalu Lintas. PT. Macanan Jaya Cemerlang: Jakarta.

Rahardi, Pudi. 2007. Profesionalisme dan Reformasi Polri. Laskbang Mediatama: Surabaya.

Raharjo Satjipto. 1983. Masalah penegakan Hukum Sinar Baru: Bandung.

____________. 1991. Polisi Pelaku dan Pemiki.  Gramedia Pustaka Utama:  Jakarta.

____________. Anton Tabah. 1993. Polisi, Pelaku Dan Pemikir: Gramedia Pustaka Utama:  Jakarta.

______________. 2009. Penegakaan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis. Genta Publishing: Jogjakarta.

Saifudin Azwar.  1999. Metode Penelitian. Pustaka Belajar: Yogyakarta.