Syntax Literate : Jurnal Ilmiah Indonesia – ISSN : 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 2,
No 9 September 2017
Endang Sutrisno & Sri Murdiyah Hidayati
Program
Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana UNSWAGATI
endangsutrisno94@gmail.com
Abstrak
Calon Tenaga Kerja Indonesia (TKI) akan
melewati proses pemeriksanaan kesehatan. Pemeriksanaan tersebut berisi
pemeriksaan fisik dan jiwa. Pemeriksaan penunjang dilakukan oleh rumah sakit serta
klinik. Hal-hal sebagaimana demikian tercantum pada Permenkes No. 29 Tahun 20 13
mengenai Penyelenggaraan Pemeriksaan Kesehatan Calon TKI. Klinik. Faktanya
pemeriksaan kesehatan belum selaras dengan peraturan, yaitu tidak dilakukan
informed consent sebelum dilakukan pemeriksaan kesehatan. Sehingga timbul
permasalahan mengenai standar dam aturan dasar pemeriksaan kesehatan yang
digunakan untuk calon TKI. Penelitian ini bertujuan mengkaji penerapan standar
pelayanan kesehatan calon TKI dan mendeskripsikan pertanggungjawaban hukumnya. Metode
penelitian menggunakan penelitian doktrinal. Temuan penelitian pemeriksaan
kesehatan belum memiliki Standar Operasional Prosedur, penerapan sanksinya
yaitu sanksi administrasi seperti teguran lisan, teguran tertulis yang disampaikan
oleh Dinas Kesehatan Kota/ Kabupaten dan Dinas Kesehatan Daerah/Provinsi, dan
selanjutnya pemberhentian kegiatan sementara hingga pencabutan izin sarana
kesehatan oleh Menteri Kesehatan.
Kata Kunci: Pelayanan Kesehatan, Calon Tenaga
Kerja Indonesia, Sanksi Administrasi
Pendahuluan
Secara umum Tenaga
Kerja Indonesia (TKI) adalah merupakan warga negara Indonesia yang bekerja di
luar negeri, yang dalam pelaksanaannya TKI menjalani program penepatan kerja
berbasis hubungan kerja dan upah sebagai timbal balik (UU No. 39 2004). Dalam
pandangan lain, TKI sendiri tidak terikat pada gender atau jenis kelamin. Lebih lanjut, siapa pun WNI yang memiliki
dan bekerja di luar negeri, yang dalam pelaksanaan kerjanya terikat oleh
perjanjian kerja dengan durasi waktu tertentu, maka WNI tersebut dapat dianggap
sebagai Tenaga Kerja Indonesia (TKI).
Tenaga Kerja Indonesia
merupakan pihak yang cukup dominan dalam mengumpulkan pundi-pundi devisa
negara. Pada kasus lain, TKI juga berhasil meningkatkan derajat dan kehidupan
keluarganya. Akan tetapi hal sebagaimana di atas akan terwujud apabila sang TKI
dapat menjadi TKI yang produktif dan sehat baik fisik maupun mental.
Kondisi kesehatan
Tenaga Kerja Indonesia adalah faktor penting yang memiliki kaitan atas kualitas
dan produktivitas TKI itu sendiri. TKI yang memiliki masalah dengan kesehatan
tidak hanya berurusan dengan dirinya sendiri, pihak penyalur, maupun dokter
yang menangani, melainkan juga pada bangsa yang merupakan asal TKI tersebut (Depkes:
2008).
Dalam keterkaitannya
dengan proses peningkatan kualitas dan mutu Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI), persiapan fisik, mental, dan
keterampilan adalah hal yang wajib diperhatikan. Menyangkut dengan persiapan
fisik, perusahan penyalur dan negara harus memeriksa kesehatan secara berkala.
Hal tersebut demi menjaga dan memastikan kondisi kesehatan CTKI selalu baik.
Pemeriksanaan kesehatan
sendiri merupakan bagian yang berkaitan program penempatan CTKI. Pada pemeriksanaan ini setiap
CTKI akan diperiksa dan diklasifikasikan menjadi dua golongan, yakni sehat dan
tidak sehat. Kegiatan ini bertujuan mengetahui kondisi kesehatan CTKI secara
riil. Di samping itu cara ini juga memungkinkan pihak penyalur bahkan CTKI itu
sendiri memiliki data dasar rekam medik. Menurut Undang Undang No.36 Tahun 2009
tentang Kesehatan.
kesehatan adalah kondisi dimana tubuh––meliputi fisik, mental, dan
spiritual––dalam keadaan baik, sehingga mampu untuk hidup produktif, baik
sosial dan ekonomis. Adapun Sarana Pemeriksaan Pelayanan Kesehatan CTKI adalah
tempat dilaksanakannya pemeriksaan kesehatan yang memenuhi strandar Menteri
Kesehatan.
Dalam pemeriksaan
tersebut CTKI akan melewati beberapa tahap pemeriksaan, yaitu pendataan
identitas, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan jiwa sederhana, laboratorium dan radiologi. Dalam pemeriksanaan
laboratorium sendiri terdapat beberapa subtansi yang harus dilalui CTKI, salah
satu subtansi tersebut adalah pemeriksaan HIV. Pada saat ini kebijakan
pemerintah dalam pengendalian penyebaran HIV/AIDS selain mengggunakan metode
VCT (Voluntary Counselling and Testing)
terdapat juga metode PITC (Provider
Initiated Test and Counselling) (Depkes: 2006).
Pada prosesnya pemeriksanaan
CTKI tidak dilakukan oleh pihak penyalur, melainkan oleh pihak lain. Pihak lain
disini adalah pihak ketiga yang memiliki hubungan dengan pelayanan kesehatan layaknya
rumah sakit, puskesmas, medical centre, dan
balai pengobatan yang telah dipercaya dan disahkan. Pihak ini merupakan pihak
ketiga yang memberi pemeriksaan medis pada setiap CTKI yang akan diberangkatkan.
Lembaga maupun institusi sebagaimana disebutkan memiliki karyawan baik medis
maupun non medis yang sama-sama mengembang etika masing-masing. Akan tetapi,
terlepas dari hal tersebut, penulis mendapati bahwa lembaga dan institusi
kesehatan terkait memiliki tanggung jawab penuh untuk memberi pelayanan
kesehatan pada pihak yang memerlukan. Guandi (2007) menuturkan bahwa terdapat
hubungan pasien dengan sang pemberi pelayanan kesehatan. Lanjut Guwandi,
menurut dirinya, hubungan yang dimaksud didasarkan pada dua ciri, yakni adanya
persetujuan mengenai pemberian pelayanan (konsensual) dengan kepercayaan (fiduciary) dari keduanya.
Persetujuan sebagaimana
disebutkan, selain dilatar belakangi adanya hak-hak pasien, diatur juga dalam Permenkes
Nomor 290/MENKES/PER/III/2008, yang
dijelaskan dalam pasal 1 ayat 1, persetujuan tindakan kedokteran merupakan
pesetujuan yang diberikan keluarga pasien atau pasien sendiri pasca memperoleh
keterangan terkait tindakan dokter akan diberikan pada pasien. Sedangkan dalam
pasal 2 ayat (1) Semua tindakan yang dilakukan dokter harus mendapat
persetujuan pasien, (2) Persetujuan yang dimaksud dalam ayat (1) dapat diberi
melalui lisan maupun tulisan, , (3) Persetujuan sebagaimana pasal (1) diberikan
pasca pasien mendapat keterangan terkait perlunya tindakan kedokteran
dilakukan.
Dalam realitas kajian
ditemukan adanya klinik utama sebagai salah satu klinik kesehatan CTKI yang ada
di Kota Cirebon. Dalam penyelenggaraan layanan kesehatan untuk para CTKI belum
melaksanakan informed consent dalam layanan pemeriksaan
kesehatan CTKI, karena proses pelaksanaan informed
consent membutuhkan waktu yang lama, untuk para CTKI mendapatkan infomasi
tentang tindakan medis yang dilaksanakan, tidak terkecuali informasi tentang
pemeriksaan HIV dan penyuntikan vaksin MMR bagi para CTKI dengan negara tujuan
Taiwan, juga belum tersedianya petugas konseling HIV dan keterbatasan sumber
daya manusia/pegawai klinik serta ruang untuk tempat pemberian informed consent, menjadi batu sandungan
dalam pelaksanaan informed consent.
Selain itu dengan keterbatasan pendidikan yang dimiliki oleh CTKI dan keinginan
yang besar untuk dapat ke luar negeri dengan harapan mendapatkan penghasilan
yang besar mengakibatkan CTKI tidak memahami pemeriksaan apa saja yang akan
dilakukan. Dari hasil wawancara
diperoleh informasi bahwa hak-hak CTKI sebagai pasien belum terpenuhi. Salah
satu hak yang dimaksud adalah tidak adanya penjelasan serta persetujuan terkait
tindakan medis yang harus dan akan dilakukan (informed consent).
Metode
Penelitian
Penelitian ini menerapkan
metode doktrinal. Pendekatan ini dilakukan dengan mengonsepsikan hukum sebagai
produk perundang-undangan yang riil dan fungsional pada sistem kehidpan
bermasyarakat yang mempola, dimana penelitian ini dilakukan dengan meneliti
bagaimana penegakan hukum terkait dengan pelayanan pemeriksaan kesehatan CTKI
di klinik kesehatan CTKI yang tidak memenuhi standar pelayanan yang ditetapkan
Menteri Kesehatan untuk proses pemeriksaan kesehatan.
Penelitian ini
menggunakan pendekatan yuridis normatif, yang mempunyai obyek kajian tentang
kaidah atau aturan hukum, dimaksudkan untuk menyampaikan argumentasi hukum
sebagai dasar penentu apakah suatu peristiwa sudah benar atau salah serta
bagaimana sebaiknya peristiwa itu menurut hukum, dengan tujuan ada
pertanggungjawaban hukum yang jelas untuk klinik kesehatan yang tidak
melaksanakan pelayanan kesehatan CTKI sesuai standar yang telah ditetapkan.
Hasil
dan Pembahasan
A.
Implementasi
Standar Pelayanan Pemeriksaan Kesehatan Calon Tenaga Kerja Indonesia
1.
Standar
Pemeriksaan
Dibutuhkan aturan yang lebih komprehensif terkait penyelenggaraan
pelayanan pemeriksaan kesehatan CTKI.
Ketentuan hukum telah mengaturnya pada Permenkes Nomor 29 Tahun 2013 mengenai Penyelenggaraan
Pelayanan Pemeriksaan Kesehatan CTKI, yang menyatakan bahwa Pasal 1 Ayat (2) Pemeriksaan Kesehatan proses diperiksanya
kondisi kesehatan CTKI meliputi fisik dan jiwa, serta pemeriksaan penunjang. Dan Ayat
(3)
Standar pemeriksaan kesehatan untuk CTKI merupakan ketentuan
mengenai jenis, metoda, serta penetapan hasil terkait kegiatan pemeriksaan
kesehatan CTKI.
Adapun standar pemeriksaan kesehatan CTKI dijelaskan dalam Pasal 3, Pasal
4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8 dan Pasal 9 selengkapnya norma hukum
tersebut mengatur sebagai berikut:
a.
Pasal
3
1)
Pasal 3 ayat 1
Masing-masing calon TKI harus diperiksa sebagaimana
standar pemeriksaan yang telah ditetapkan.
2)
Pasal 3 ayat 2
Di samping pemeriksaan sebagaimana ayat (1), atas permintaan negara, pemeriksaan
tambahan dapat dilakukan sesuai kebutuhan.
b.
Pasal
4
1)
Pasal 4 ayat 1
Standar pemeriksaan sebagaimana pasal 3 ayat (1)
meliputi pemeriksaan fisik lengkap, jiwa sederhana, dan pemeriksaan
penunjang.
2)
Pasal 4 ayat 2
Pemeriksaan fisik dan jiwa sebagaimana ayat (1) harus
dilaksanakan oleh dokter spesialis dan/atau dokter yang telah mengikuti
pelatihan pemeriksaan jiwa sederhana.
3)
Pasal 4 ayat 3
Pemeriksaan penunjang sebagaimana ayat (1) adalah
pemeriksaan tambahan seperti pemeriksaan laboratorium dan radiologi.
4)
Pasal 4 ayat 4
Pemeriksaan laboratorium sebagaimana ayat (3) dilaksanaan
oleh analisis kesehatan dengan tanggung jawab dokter spesialis patologi klinik.
5)
Pasal 4 ayat 5
Pemeriksaan terkait radiologi sebagaimana ayat (3)
dilaksanakan oleh radiografer dengan tanggung jawab dokter spesialis radiologi.
c.
Pasal
5
1)
Pasal 5 ayat 1
Pemeriksaan kesehatan CTKI dilakukan oleh tim dokter
dengan dipimpin oleh dokter spesialis penyakit dalam.
2)
Pasal 5 ayat 2
Dokter spesialis sebagaimana ayat (1) akan
menetapkan CTKI layak bekerja atau tidak berdasarkan hasil pemeriksaan
kesehatan.
3)
Pasal 5 ayat 3
Penetapan layak atau tidaknya CTKI mengacu pada Penentuan
Batasan Kelaikan Kerja (fit to work).
4)
Pasal ayat 4
Penetapan sebagaimana ayat (3) harus ditentukan
paling lambat 2 hari setelah proses pemeriksaan dilakukan.
d.
Pasal
6
1)
Pasal 6 ayat 1
CTKI yang ditemukan mengidap penyakit harus segara
diberi pengobatan dan dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan lain.
2)
Pasal ayat 2
TKI yang telah sembuh dan/atau penyakitnya
terkontrol dapat melaksanakan pemeriksaan kesehatan ulang setelah 6 bulan pada
sarana kesehatan yang sama.
e.
Pasal
7
1)
Pasal 7 ayat 1
Hasil dari setiap pemeriksaan kesehatan maupun
pengobatan CTKI dicatat dalam rekam medis.
2)
Pasal 7 ayat 2
Pencatatan sebagai ayat (1) dilakukan menggunakan formulir 1 terlampir.
3)
Pasal 7 ayat 3
Hasil pemeriksaan yang menyatakan CTKI fit to word, selain dicatat pada rekam
medis, juga harus tercantum dalam buku kesehatan khusus.
4)
Pasal 7 ayat 4
Buku sebagaimana ayat (3) bertujuan sebagai
instrumen evauasi CTKI sebelum pemberangkatan, dan akan menjadi catatan
tersendiri di negara penempatan maupun tanah air.
5)
Pasal 7 ayat 5
CTKI wajib membawa buku sebagaimana ayat (3), serta
senantiasa meminta meminta status kesehatan pada buku tersebut setiap kali
berobat dan pemeriksaan, baik sebelum berangkat, di negara penempatan, maupun
di tanah air.
f.
Pasal
8
1)
Pasal 8 ayat 1
CTKI berjenis kelamin perempuan yang telah
dinyatakan fit to work wajib tes
kehamilan paling lambat 7 hari sebelum proses keberangkatan dilakukan.
2)
Pasal 8 ayat 2
Pemeriksaan sebagaimana ayat (1) dilaksanakan pada
sarana-sarana kesehatan.
3)
Pasal 8 ayat 3
Apabila dilakukan tes laboratorium ulang menunjukan
kehamilan yang positif, maka sertifikat kesehatan yang menyebutkan fit to work akan segera dicabut oleh
penanggung jawab di sarana kesehatan.
4)
Pasal 8 ayat 4
Sertifikat yang dicabut sebagaimana ayat (3) wajib
diserahkan kembali pada lembaga/sarana kesehatan yang mengeluarkan sertifikat
tersebut.
g.
Pasal
9
Hal-hal lain terkait standar pemeriksaan kesehatan
serta penentuan batasan fit to work sebagaimana
tercantum pada lampiran I adalah bagian yang bertautan dengan Permenkes.
2.
Alur
Pelayanan Pemeriksaan Kesehatan
Dalam lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 29
Tahun 2013 terdapat pola pelayanan pemeriksaan kesehatan yang telah disusun adalah:
a.
Prosedur Pendaftaran
Pada proses ini masing-masing CTKI akan melewati
tahap verifikasi identitas dan foto CTKI.
b.
Prosedur konseling atau informed consent
Prosedur ini secara umum dilakukan dengan tahap; (1)
pemeriksaan kesehatan, (2) pemeriksaan fisik, jiwa, laboratorium, dan
radiologi, (3) pemeriksaan HIV dan psikotropika, (4) tindak lanjut atas
pemeriksaan laboratorium.
c.
Prosedur pemeriksaan (fisik, jiwa,
laboratorium, dan radiologi)
d.
Prosedur pencatatan dan pelaporan
e.
Prosedur penerbitan sertifikat kesehatan
B.
Pembahasan
mengenai Implementasi Standar Pelayanan Pemeriksaan Kesehatan Calon Tenaga
Kerja Indonesia (CTKI)
Berdasarkan uraian data yang berhasil dihimpun,
diperoleh kesimpulan awal berupa:
1.
Salah satu klinik utama di wilayah studi
di Kota Cirebon
a.
Tidak memiliki standar operasional
prosedur (SOP) dalam pemeriksaan kesehatan calon TKI, dimana tidak
dilaksanakannya kegiatan informed consent
sebelum calon TKI dilakukan pemeriksaan kesehatan, alur pemeriksaan terlihat
belum teratur, calon TKI yang telah mendaftar dilakukan pemeriksaan fisik
dahulu tetapi sering juga dilaksanakan pemeriksaan laboratorium lebih dulu,
dengan harapan agar dapat mempersingkat waktu pemeriksaan kesehatan.
b.
Kelengkapan sarana dan prasarana pada
proses penyelenggaraan pemeriksaan kesehatan belum terpenuhi, yaitu tidak
tersedianya formulir informed consent
termasuk didalamnya formulir informed
consent untuk pemeriksaan HIV, tidak tersedianya petugas konselor HIV/AIDS
dan tidak adanya ruangan khusus sebagai tempat penyampaian informed consent.
2.
Sumber manusia
a.
Pemilik klinik sebagai pemilik modal
yang bertujuan utuk mendapatkan keuntungan mempunyai kewenangan penuh dalam penyelenggaraan
pelayanan kesehatan, selain itu pemilik klinik yang bukan berasal dari tenaga
kesehatan kurang memahami pelaksanaan pelayanan kesehatan.
b.
Tenaga medis tidak memiliki hak dan kewenangan
penuh dalam menjalankan kewajibannya, karena tenaga medis hanya sebagai employee yang bertugas melakukan tugas serta
kewajiban klinik saja, dan tidak mempunyai kewenangan dalam pelaksanaan
pelayanan kesehatan.
Akibatnya muncul ketiadaan standar operasional
prosedur (SOP) maka pelaksanaan pelayanan kesehatan menjadi tidak terarah,
tidak teratur dan tidak profesional. Seyogyanya SOP wajib dimiliki oleh setiap
layanan publik, klinik kesehatan merupakan pelayanan publik, tanpa SOP maka
pelayanan pemeriksaan kesehatan hanya sebagai suatu rutinitas saja, akibatnya
tertib administrasi dan mutu dari hasil pemeriksaan kesehatan tersebut tidak
maksimal. Selain itu tidak adanya SOP berpotensi munculnya masalah yang memiliki
kaitan dengan kelalaian medik yang diakibatkan adanya risiko dari tindakan
medis yang dilakukan.
Ada beberapa macam pola yang tumbuh terkait hubungan
kerja antara rumah sakit dan dokter, antara lain (Sofyan: 2002):
1.
Dokter sebagai employee, peran rumah sakit sebagai pihak yang harus memberikan
prestasi, sedangkan dokter berperan sebagai karyawan atau employee yang melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya pada rumah
sakit, dengan kata lain peran rumah sakit disini adalah sebagai principal sedang dokter berperan sebagai
agent.
2.
Dokter sebagai attending physician (mitra). Kedudukan rumah sakit dan dokter adalah
sederajat. Dokter berperan sebagai pihak yang wajib memberi prestasi dan rumah
sebagai tempat penyedia fasilitasnya.
3.
Dokter sebagai independent contractor. Bahwa dokter bertindak dalam profesinya
sendiri dan tidak terkait dengan institusi manapun.
Tanggungjawab dokter atas pasiennya tergantung dari
pola kerjanya di rumah sakit. Bila kedudukan dokter sebagai employee, maka dokter berperan sebagai
pelaksana kewajiban rumah sakit. Dan jika dokter sebagai mitra maka dokter
bertanggungjawab sendiri atas kelalaian tindakan mediknya.
Dasar hukum pertanggung jawaban rumah sakit atau
klinik kesehatan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan terhadap pasien yaitu
hubungan hukum antara rumah sakit berperan sebagai penyelenggara pelayanan
kesehatan dan pasien sebagai pengguna pelayanan kesehatan. Hubungan hukum
sebagaimana di atas lahir atas perikatan dan perjanjian tentang pelayanan
kesehatan. Hubungan hukum antara rumah sakit atau klinik kesehatan dan pasien
salah satunya adalah sebuah hubungan perikatan yang menekankan pelaksanaa hak-hak
dan kewajiban masing-masing pihak secara timbal balik. Rumah sakit atau klinik
kesehatan berkewajiban untuk memenuhi hak-hak pasien dan sebaliknya pasien
berkewajiban memenuhi hak-hak rumah sakit atau klinik kesehatan.
Selain itu dalam Undang-Undang Praktek Kedokteran
Nomor 29 Tahun 2004, Pasal 52 menyatakan bahwa pasien dalam menerima pelayanan
pada praktik kedokteran, mempunyai hak memperoleh keterangan terkait penjelasan
tindakan medis. Adapun penjelasan disini dijabarkan dalm Pasal 45 ayat (3) yang
menyatakan bahwa penjelasan sekurang-kurangnya mencakup: (1) diagnosis dan tata
cara tindakan medis; (2) tujuan
tindakan medis yang dilakukan; (3) alternatif tindakan lain dan risikonya; (4)
risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan (5) prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Berdasarkan hasil penelitian dapat didiskripsikan
bahwa prosedur informed consent yang
belum dilaksanakan dalam penyelenggaraan pelayanan pemeriksaan kesehatan calon TKI
di Klinik Utama di wilayah studi menunjukkan bahwa hak-hak pasien dalam hal ini
calon TKI masih belum terpenuhi, yaitu hak untuk memperoleh keterangkan lengkap
terkait tindakan kedokteran yang akan dilakukan, sehingga apabila terjadi
resiko medis dari tindakan yang dilakukan, maka pasien dalam hal ini calon TKI
dapat menuntut pihak klinik kesehatan tersebut.
Apabila hukum dilihat sebagai suatu sistem maka
penegakan hukum selaku proses akan melibatkan berbagai komponen yang saling
berkaitan, dan bahkan ada yang memiliki tingkat ketergantungan yang cukup erat.
Akibatnya, ketiadaan satu dari sekian komponen mampu menyebabkan inefficient maupun useless,
sehingga tujuan hukum sulit terwujud. Komponen-komponen tersebut meliputi personel, information, budget, facilities, substantive law, prosedural
law, decisions rules dan decision habits (Esmi: 2005).
Hukum sebagai suatu sistem apabila dideskripsikan
dalam penyelenggaraan pelayanan pemeriksaan kesehatan calon TKI. Dengan kata
lain, peneliti dapat berkesimpulan bahwa proses penyelenggaraan pemeriksaan
kesehatan pada Klinik Utama di wilayah studi belum terlaksana dengan baik, ada
beberapa komponen yang belum terpenuhi, seperti komponen personel dimana pimpinan klinik sebagai pemilik modal yang
mempunyai kewenangan penuh mengakibatkan tenaga medis dan tenaga profesional
lainnya menjalankan pelayanan kesehatan hanya menjalankan tugas dan kewajiban
klinik saja, dan tidak mempunyai kewenangan dalam pelaksanaan pelayanan
kesehatan, komponen facilities adalah
kelengkapan sarana serta prasarana yang belum memadai mengakibatkan mutu hasil
pemeriksaan kesehatan tidak maksimal, dan komponen prosedural law yang belum terpenuhi, dalam hal ini adalah standar
oprasional prosedur (SOP) menyebabkan pelayanan pemeriksaan kesehatan tidak
memiliki panduan yang jelas, sehingga berpotensi munculnya kasus kelalaian
medik yang disebabkan karena adanya risiko dari tindakan medik.
C.
Pertanggung
jawaban Hukum Klinik Kesehatan Dalam Pelayanan
Kesehatan Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI)
Hukum adalah karya manusia yang berupa norma-norma
berisikan petunjuk-petunjuk tingkah laku. Ia merupakan pencerminan dari
kehendak manusia tentang bagaimana seharusnya masyarakat dibina dan kemana
harus diarahkan (Sutjipto: 2006).
Norma hukum memiliki fungsi untuk melindungi lebih
lanjut kepentingan-kepentingan manusia. Norma hukum ditujukan pada tindakan dan
perilaku yang konkrit atau riil. Salah satu upaya yang biasanya dilakukan
supaya warga masyarakat mematuhi norma hukum adalah dengan mencantumkan
sanksi-sanksinya. Sanksi-sanksi tersebut mungkin berupa sanksi negatif atau
sanksi positif, yang memiliki maksud untuk menimbulkan rangsangan agar manusia
tidak melakukan tindakan tercela atau melakukan tindakan yang terpuji (Soerjono:
1985).
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 29 Tahun
2013 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Pemeriksaan Calon Tenaga Kerja
Indonesia, Pasal 1 ayat (4) dijelaskan bahwa sarana kesehatan adalah rumah
sakit atau klinik utama yang digunakan untuk menyelenggarakan pemeriksaan
kesehatan calon TKI yang mendapatkan penetapan dari Menteri Kesehatan.
Berdasarkan Undang Undang Perlindungan Konsumen
Nomor 8 Tahun 1999, Pasal 6, dijelaskan bahwa hak pelaku usaha adalah:
1.
Hak untuk menerima pembayaran yang
sesuai dengan kesepakatan mengenai kondisi dan nilai tukar barang dan/atau jasa
yang diperdagangkan;
2.
Hak untuk mendapat perlindungan hukum
dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik;
3.
Hak untuk melakukan pembelaan diri sepatutnya
di dalam penyelesaian hukum sengketa konsumen;
4.
Hak untuk rehabilitasi nama baik apabila
terbukti secara hukum bahwa kerugian konsumen tidak diakibatkan oleh barang
dan/atau jasa yang diperdagangkan;
5.
Hak-hak yang diatur dalam ketentuan
peraturan perundang-undangan lainnya.
Sedangkan dalam pasal yang lain yakni pasal 7
dijelaskan akan kewajiban pelaku usaha. Adapun kewajiban pemilik usaha yang
dimaksud adalah:
1.
Beritikad baik dalam melaksanakan tugas
dan usahanya;
2.
Memberikan pemaparan secara jelas,
benar, jujur, serta dapat dipertanggungjawabkan tentang kondisi dan jaminan
barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaiki, serta
pemeliharaan;
3.
Melayani konsumen secara benar dan
jujur, termasuk di dalamnya adalah tidak diskriminatif dalam melayani;
4.
Menjamin setiap mutu barang yang
dirpoduksi dan/atau diperdagangkan dengan berdasar pada standar mutu barang
atau jasa yang berlaku;
5.
Mempersilahkan konsumen untuk menguci
dan mencoba barang yang dijajakan, serta menjamin setiap barang dan jasa yang
diperdagangkan;
6.
Memberi ganti rugi pada pengguna apabila
terdapat kesalahan yang timbul dari produk;
7.
Memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau
penggantian apabila barang dan/jasa yang
diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
Klinik Utama di wilayah studi merupakan salah satu
pelaku usaha yang bergerak dalam bidang kesehatan, yang mana dalam
penyelenggaraan pelayanan kesehatan bagi calon TKI belum melaksanakan pelayanan informed consent, apabila dikaitkan
dengan Undang Undang Perlindungan Konsumen Nomor 8 Tahun 1999, Pasal 7 tentang
kewajiban pelaku usaha dapat dideskripsikan bahwa:
1.
Klinik Utama di wilayah studi dalam
penyelenggaraan pelayanan pemeriksaan kesehatan CTKI belum memberikan informasi
yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa
serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
2.
Klinik Utama di wilayah studi dalam
penyelenggaraan pelayanan pemeriksaan kesehatan CTKI belum memperlakukan atau
melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
Sehingga pelaku usaha dalam hal ini klinik kesehatan
bertanggungjawab apabila terjadi risiko dari tindakan medis yang dilakukan.
Adapun tanggungjawab pelaku usaha tercantum dalam Pasal 19, ayat (1) Pelaku
usaha bertanggungjawab memberikan ganti rugi atau kerusakan, pencemaran
dan/atau kerugian konsumen akibat mengkonsumsi barang dan/atau jasa yang
dihasilkan atau diperdagangkan; ayat (2) Ganti rugi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa pengembalian uang atau penggantian barang dan/atau jasa
yang sejenis atau setara nilainya atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian
santunan yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan yang
berlaku.
Setiap peristiwa hukum adalah setiap peristiwa yang
biasa terjadi di masyarakat namun memiliki akibat hukum. Oleh karena itu,
setiap tindakan melawan hukum atau pelanggaran hukum akan selalu mengakibatkan
timbulnya sanksi hukum. Sanksi ini merupakan monopoli atau wewenang dari
penguasa untuk memberikannya. Dan norma hukum itu sendiri berasal dari
kekuasaan yang formal, sehingga berlakunya dapat dipaksakan. Sanksi hukum
bersifat tegas, memaksa dan mengikat. Sanksi ini dapat dipaksakan karena
beberapa alasan:
1.
Ada ketentuan yang jelas;
2.
Ketentuan tersebut disahkan oleh
organisasi yang diakui dan memiliki legitimasi;
3.
Ada lembaga yang berwenang melakukan
penegakan hukum;
Dengan demikian, hukum pada hakikatnya adalah
kekuasaan. Hukum mengatur, mengusahakan ketertiban dan membatasi ruang gerak
individu. Hukum tidak mungkin menjalankan fungsinya dengan baik bila tidak
merupakan kekuasaan yang legitimasinya diakui oleh masyarakat secara luas. Oleh
karena itu, hukum merupakan kekuasaan yang mengusahakan ketertiban, karena itu
hukum baru dapat diaplikasikan jika kekuasaan tersebut memiliki legalitas atau
keabsahan, karena tidak semua kekuasaan melahirkan hukum.
Norma atau kaidah hukum bertujuan agar tercapai
kedamaian di dalam kehidupan bersama, dimana kedamaian berarti suatu keserasian
antara ketertiban dan ketentraman atau keserasian antara keterikatan dengan
kebebasan. Sehingga tugas hukum adalah mencapai suatu keserasian antara
kepastian hukum dengan kesebandingan hukum. Hal ini menjadi titik pangkal
proses penegakan hukum dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Terdapat beberapa faktor yang dapat memengaruhi
penegakan hukum. Faktor-faktor tersebut adalah:
1.
Faktor hukum itu sendiri, dalam hal ini
adalah undang-undang;
2.
Faktor penegak hukum; yakni pihak yang
membentuk dan menerapkan hukum;
3.
Faktor sarana atau fasilitas yang
mendukung penegakan hukum;
4.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan dan
segala hal yang terkait di dalamnya yang menjadi tempat dimana hukum itu
diterapkan;
5.
Faktor kebudayaan, yakni hasil karya,
cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup;
Kelima faktor tersebut saling berkaitan erat karena
kelima faktor tersebut merupakan esensi penegakan hukum dan sebagai tolak ukur
dari efektivitas hukum. Berdasarkan lima faktor yang mempengaruhi penegakan
hukum, maka faktor penegak hukum adalah salah satu faktor yang sangat berperan
penting dalam upaya penegakan hukum dalam masyarakat.
Dalam hal ini penegak hukum yang bertugas dalam
pengawasan sarana kesehatan CTKI adalah Menteri Kesehatan, Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten. Berdasarkan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 29 Tahun 2013 pasal 26 ayat (4), menyatakan
bahwa dalam rangka pengawasan, menteri,
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi dan Kepala Dinas Kesehatan Kota/Kabupaten dapat
mengambil tindakan administratif terhadap sarana kesehatan dan tenaga kesehatan
yang melakukan pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Menteri ini sesuai
dengan kewenangan masing-masing. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud
dapat berupa:
1.
Teguran lisan;
2.
Teguran tertulis;
3.
Penghentian sementara kegiatan;
4.
Pencabutan penetapan sebagai sarana
kesehatan pemeriksaan kesehatan CTKI;
Sanksi tersebut belum dapat dilaksanakan secara
maksimal karena pembinaan dan pengawasan serta kontrol (monitoring dan evaluasi) yang belum maksimal dari Dinas Kesehatan
Kota Cirebon dan Dinas Kesehatan Provinsi. Kegiatan pembinaan dan pengawasan
hanya dilakukan saat masa berlaku penetapan klinik sebagai sarana kesehatan
calon TKI berakhir, sehingga penyelenggaraan pelayanan pemeriksaan kesehatan
tidak dapat di pantau, apakah sudah dilaksanakan dengan baik atau belum
dilaksanakan.
Lemahnya pembinaan, pengawasan dan kontrol (monitoring dan evaluasi) yang seyogyanya
peran tersebut harus diemban oleh lembaga-lembaga yang bersangkutan seperti
Dinas Kesehatan Kota Cirebon dan Dinas Kesehatan Provinsi serta Kementerian
Kesehatan, membuktikan bahwa administrasi birokrasi hukum yang berkenaan dengan
pelayanan kesehatan calon tenaga Indonesia belum dapat berjalan sesuai dengan
sebagaimana amanat yang ditentukan oleh ketentuan yang berlaku. Pada sisi lain,
juga terjadi disfungsi kelembagaan dalam hal-hal yang berkaitan dengan profesi
dokter, dimana dalam penyelenggaraan pelayanan pemeriksaan kesehatan calon TKI,
dokter tidak dapat menjalankan kewenangannya secara maksimal.
Kesimpulan
Dari uraian sebagaimana
disebutkan, penulis kemudian mendapati beberapa kesimpulan seperti berikut:
1.
Penyelenggaraan pelayan pemeriksaaan
kesehatan yang dilakukan di Klinik Utama di wilayah studi di Kota Cirebon masih
belum sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 29 Tahun 2013 tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Pemeriksaan Kesehatan Calon Tenaga Kerja Indonesia.
Dari hasil penelitian yang dilakukan, ditemukan bahwa:
a.
Belum memiliki standar operasional prosedur
(SOP) dalam pelayanan kesehatan calon TKI.
b.
Kelengkapan sarana dan prasarana yang
belum sepenuhnya terpenuhi.
c.
Kewenangan penuh yang dimiliki oleh
pimpinan klinik sebagai pemilik modal mempunyai kewenangan penuh dalam
pelayanan pemeriksaan kesehatan.
d.
Tenaga medis hanya sebagai employee
yang bertugas melaksanakan kewajiban dan tugas klinik saja, tanpa memiliki
kewenangan sebagai dalam pelayanan pemeriksaan kesehatan.
Akibat dari hal-hal
tersebut adalah dengan tidak adanya Standar Operasional Prosedur (SOP) maka
pelaksanaan pelayanan kesehatan menjadi tidak terarah, tidak teratur dan tidak
profesional. Seharusnya SOP wajib dimiliki oleh setiap layanan publik, klinik
kesehatan merupakan layanan publik, tanpa SOP maka penyelenggaraan pelayanan
pemeriksaan kesehatan hanya sebagai kegiatan rutinitas saja, akibatnya tertib
administrasi dan mutu dari hasil pemeriksaan kesehatan tersebut tidak maksimal.
Selain itu tidak adanya SOP berpotensi munculnya masalah yang berkaitan dengan
kelalaian medik yang diakibatkan adanya risiko dari tindakan medis yang
dilakukan.
2.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 29 Tahun 2013 pasal 26 ayat (4), menyatakan bahwa dalam rangka
pengawasan, menteri,
Kepala Dinas Kesehatan Provinsi
dan kepala dinas kesehatan kota/kabupaten dapat mengambil tindakan
administratif terhadap sarana kesehatan dan tenaga kesehatan yang melakukan
pelanggaran terhadap ketentuan Peraturan Menteri ini sesuai dengan kewenangan
masing-masing. Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dapat berupa:
a.
Teguran lisan.
b.
Teguran tertulis.
c.
Penghentian sementara kegiatan.
d.
Pencabutan penetapan sebagai sarana
kesehatan pemeriksa kesehatan CTKI.
Sanksi
tersebut belum dapat dilaksanakan secara maksimal karena pembinaan dan
pengawasan serta kontrol (monitoring dan evaluasi) yang belum maksimal dari
Dinas Kesehatan Kota Cirebon dan Dinas Kesehatan Provinsi. Kegiatan pembinaan
dan pengawasan hanya dilakukan saat masa berlaku penetapan klinik sebagai
sarana kesehatan Calon Tenaga Kerja Indonesia (CTKI) berakhir, sehingga
penyelenggaraan pelayanan pemeriksaan kesehatan tidak dapat di pantau, apakah
sudah dilaksanakan dengan baik atau belum dilaksanakan.
Lemahnya
pembinaan, pengawasan dan kontrol (monitoring dan evaluasi) yang seyogyanya
peran tersebut harus diemban oleh lembaga-lembaga yang bersangkutan seperti
Dinas Kesehatan Kota Cirebon dan Dinas Kesehatan Propinsi serta Kementerian
Kesehatan, membuktikan bahwa administrasi birokrasi hukum yang berkenaan dengan
pelayanan kesehatan calon tenaga Indonesia belum dapat berjalan sesuai dengan
sebagaimana amanat yang ditentukan oleh ketentuan yang berlaku.
BIBLIOGRAFI
Departemen
Kesehatan RI. 2008. Standar Nasional
Pelayanan Pemeriksaan Kesehatan Calon Tenaga Kerja Indonesia. Departemen Kesehatan. Jakarta: Direktorat Jendral
Bina Pelayanan Medik.
Depkes.
2006. Modul Pelatihan Konseling dan Tes
Sukarela HIV. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan.
Guandi, J. 2007.
Dokter Pasien dan Hukum. Jakarta: FKUI
Rahardjo,
Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Republik
Indonesia. 2004. Undang-undang Nomor 29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Lembaran
Negara Republik Indonesia no. 116 tahun 2004. Jakarta: Sekretariat Negara
Republik Indonesia.
________________.
2008. Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Penyelenggaraan Pelayanan Pemeriksaan Kesehatan Calon Tenaga Kerja Indonesia. Permenkes
Nomor 29 tahun 2013.
________________.
2008. Peraturan Menteri Kesehatan tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran. Permenkes Nomor 209 tahun 2008.
________________.
Undang-undang Nomor 8 tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Lembaran Negera Republik Indonesia no. 42 tahun
1999. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
________________.
Undang-undang Republik Indonesia No. 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan. Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009
nomor 144. Jakarta: Sekretariat Negara.
________________.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 39
Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan
Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri. Lembaran Negara Republik Indonesia
tahun 2004 nomor 133. Jakarta: Sekretariat Negara Republik Indonesia.
Soekanto,
Soerjono. 1985. Efektivitas dan Peranan
Sanksi. Bandung: CV Remadja Rosda Karya.
Warassih,
Esmi. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah
Sosiologis. Semarang: PT Suryandaru Utama.