Syntax Literate :
Jurnal Ilmiah Indonesia ISSN : 2541-0849
e-ISSN : 2548-1398
Vol. 3, No 2 Februari 2018
PENINGKATAN
KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA BERBASIS MASYARAKAT UNTUK MENGATASI MASALAH
PENGANGGURAN DI WILAYAH KABUPATEN CIREBON
Editya Nurdiana
Universitas
Swadaya Gununga Jati
Email:
editya_editya@yahoo.co.id
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk melihat
penerapan peningkatan kualitas sumber daya manusia berbasis masyarakat untuk
mengatasi masalah pengangguran di wilayah Kabupaten Cirebon. Naratif deskriptif
kemudian digunakan sebagai metode penelitian terpilih. Hasil dari penelitian
ini mengungkapkan bahwa pengentasan pengangguran adalah sesuatu yang tidak bisa
dilakukan dengan mudah. Perlu upaya ekstra dan kerja sama antarlini untuk
menyelesaikan masalah yang telah mendarah daging di Indonesia ini. Peningkatan
kualitas SDM berbasis masyarakat adalah satu dari sekian cara yang dapat
digunakan untuk menyelesaikan masalah pengangguran yang menjerat negeri ini.
Masalah pengangguranjika berorientasi pada progam inidapat dientaskan dengan
pengadaan kursus dan/atau latihan yang berorientasi pada praktik lapangan.
Materi yang disampaikannya pun haruslah materi praktik, bukan lagi teori.
Proses pengadaan latihan tersebut dapat dilaksanakan langsung oleh pemerintah
maupun masyarakat. Andai jika proses tersebut digalangkan oleh masyarakat,
masyarakat dapat meminta bantuan pada instansi pemerintah maupun swasta guna kelancaran proses acara.
Kata Kunci: Sumber Daya
Manusia, Pengangguran
Pendahuluan
Masalah pengangguran di
Indonesia bisa dibilang menjadi satu dari sekian masalah yang mendarah daging.
Dari awal masa pemerintah pasca merdeka hingga sekarang, pengangguran menjadi
masalah yang tak
terselesaikan. Banyak yang beranggapan bahwa pengangguran adalah tentang
bagaimana seseorang enggan mencari pekerjaan dan penghidupannya. Ada pula yang
beranggapan bahwa pengangguran terjadi akibat tingginya kebutuhan sumber daya
manusia negeri ini.
Alasan-alasan demikian
memang tidak bisa dikesampingkan. Sebab, bagaimana pun kondisinya, pengangguran
memang punya sisi-sisi sebagaimana yang telah disebutkan tadi. Sehinga, disadari
atau tidak, masalah perilaku, kebutuhan sumber daya hingga kualitas sumber daya
menjadi beberapa faktor dari jutaan yang menyebabkan pengangguran itu ada.
Masalah terkait
pengangguran memang tidak dapat dientaskan dengan hanya sembarang program.
Masalah ini perlu diselesaikan dengan program terstruktur dan strategis. Sebab,
disadari atau tidak, permasalahan terkait pengangguran akan amat berhubungan
dengan kesejahteraan masyarakat, kemiskinan, ketidakmerataan pendapatan, hingga
pada sektor keamanan yang membutuhkan kerja sama antarlini dalam penangananya.
Secara garis besar
pengangguran dikatakan sebagai penduduk yang tidak dalam status bekerja
dan/atau sedang menyiapkan pekerjaan dan/atau menyiapkan usaha dan/atau penduduk
yang sudah melamar pekerjaan namun dalam kondisi belum diterima atau belum
mendapat panggilan.
Dalam pandangan lain
Nanga (2001) menyebutkan bahwa pengangguran tidak lain adalah kondisi dimana
penduduk yang telah masuk dalam angkatan kerja tidak memiliki pekerjaan secara
aktif dan/atau belum mendapat pekerjaan. Sementara itu Sukirno (2000) dalam
bukunya menambahkan bahwa pengangguran ialah penduduk yang telah masuk angkatan
kerja namun tidak kunjung mendapatkan pekerjaan karena satu dan lain hal.
Terkait dengan
pengangguran dan angkatan kerja Murni (2006) menambahkan bahwa di dunia ini ada
dua tipe orang pekerja. Dua orang tersebut adalah pekerja penuh, atau orang
yang benar-benar bekerja hingga 35 jam dalam seminggu; dan orang setengah
menganggur atau orang yang tidak produktif dan melakukan pekerjaan selama
kurang dari 35 jam dalam seminggu.
Jika berkaca ke
belakang banyak hal yang mempengaruhi terjadinya pengangguran. Dari sekian
banyak faktor yang ada, pendidikan adalah yang cukup mendominasi. Sebagaimana
diketahui, rendahnya tingkat pendidikan dan keterampilan akan berdampak
langsung pada kualitas sumber daya manusia. Sedangkan, pada perkembangannya,
telah banyak perusahaan yang menuntut karyawannya berpendidikan dan berkompetensi
baik. Oleh
karena alasan tersebut, menjadi sebuah hal wajar bila dengan lapangan kerja
yang terbatas, dan dengan tuntutan kebutuhan kerja yang demikian, pengangguran
menjadi masalah yang kini sulit terpecahkan.
Pada periode global
seperti sekarang ini, masalah pengangguran kini berdampingan dengan keterbukaan
pemerintah terhadap tenaga kerja luar. Artinya, di samping tuntutan kerja yang
ada di negeri ini, masyarakat Indonesia juga dihadapkan dengan adanya pesaing tenaga kerja
dari negara-negara pengimpor tenaga kerja terampil.
Sampai saat ini,
menurut Mantra (2003) tenaga kerja terampilan dikuasai oleh sebagian besar
negara Asia Barat seperti Jepang, Korea Selatan, India hingga Tiongkok. Jika
dibandingkan dengan tenaga kerja lokal, tenaga kerja dari negara tersebut
cenderung lebih kompeten dan memiliki kedisiplinan yang baik.
Bertolak dari apa yang
telah dipaparkan di atas, masalah pengangguran sejatinya bukan menjadi masalah
perseorangan atau kelompok. Lebih dari itu. Masalah pengangguran adalah masalah
pengembangan sumber daya manusia, dimana, dalam kasus pengangguran sumber daya
manusia tidak benar-benar digalakkan dan dikembangkan sehingga menjadi tenaga
yang kompeten dan profesional.
Masalah pengangguran
tidak lain adalah masalah bersama. Masalah ini sudah seyogyanya diselesaikan
dengan banyak pendekatan, khususnya dari sisi peningkatan kualitas SDM. Dari sisi pendidikan dan peningkatan kualitas
SDM, Depdiknas (2006) bahkan pernah menyebutkan bahwa pengangguran adalah
buntut dari ketidaksesuaian antara kompetensi dan pendidikan yang diambildi
samping juga dari tuntutan pekerjaan. Dari sisi ini, secara parsial penulis
dapat menyimpulkan bahwa istilah salah jurusan tidaklah sekedar gurauan
mahasiswa. Namun bila merujuk dari kondisi sebagaimana yang disebutkan
Depdiknas tadi, pemilihan pendidikan adalah titik awal dari menjadi
pengangguran atau tidaknya seseorang kelak.
Masih terkait dengan
pengentasan pengangguran, Poespowardojo (2007) pernah menyampaikan bahwa
peningkatan kualitas dan kompetensi SDM adalah jalan paling baik untuk
mengentaskan masalah penganggurandi samping dibukakannya lapangan pekerjaan.
Namun demikian, pada praktiknya, pemerintah tidak benar-benar tanggap dalam
masalah ini. Lebih lanjut Poespowardojo juga mengungkapkan bahwa pengembangan
kualitas tidak hanya dilakukan dengan pendidikan formal. Sebab kegiatan
dan/atau gerakan emansipatoris dan/atau partisipatoris pun dapat digalakan
untuk mengentaskan permasalah pengangguran.
Gerakan sebagaimana
disebutkan di atas memungkinkan masyarakat untuk ikut andil dalam mengentaskan
masalah pengangguran di negeri ini. Sehingga, dengan tidak langsung, pemerintah
tidak akan memikul beban terlalu berat, dan penanggulangan pengangguran pun
lebih dijalankan dengan pola pengembangan kualitas sumber daya manusia berbasis
masyarakat.
Kegiatan pemberdayaan
sumber daya manusia berbasis masyarakat sendiri dapat dilakukan dengan kerja
sama masyarakat dan pemerintah. Fokus utama pada kegiatan ini adalah untuk
mengembangkan kualitas dan kompetensi sumber daya manusia untuk kemudian dapat
menghindarkan sumber daya manusia tersebut dari apa yang disebut dengan
pengangguran.
Kabupaten Cirebon
adalah satu dari sekian kota dengan kondisi pengangguran yang cukup
memprihatikan. Kabupaten yang menjadi tapal batas Jawa Barat-Jawa Tengan ini
memiliki angka pengangguran yang cukup memprihatinkan. Dari Kabar-Cirebon.com
(2017), angka pengangguran Kota Cirebon per tahun 2017 mencapai 9,4%. Jumlah
tersebut sama dengan 95.000 orang. Melihat kondisi tersebut pelaksanaan
kegiatan pengembangan sumber daya berbasis masyarakat pun dapat menjadi solusi
dari kondisi demikian. Oleh karena alasan tersebut, peneliti kemudian
melaksanakan penelitian dengan judul Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia
Berbasis Masyarakat untuk Mengatasi Masalah Pengangguran di Kabupaten Cirebon.
Metodologi
Penelitian
Penelitian ini
menggunakan narasi deskriptif sebagai metode terpilih. Dalam pandangan Sugiyono
(2011) penelitian ini memungkinkan peneliti untuk mengetahui nilai variabel
mandiri, baik itu variabel dependen maupun independen. Lebih khusus bahasan
yang digunakan dalam penelitian ini tidak lain adalah seputar teori dan masalah
yang sedang diteliti.
Teori yang digunakan
sendiri tidak terlepas dari bahasan masalah. Dengan kata lain teori-teori yang
peneliti gunakan di sini bergelut pada satu lingkup yang sama dengan masalah
yang sedang diteliti.
Teknik pengumpulan data
penelitian ini lebih mendekatkan diri pada teknik dokumentasi, dengan sumber
data yang digunakan adalah dalam bentuk catatan, transkip, buku, berita media
massa, dan sumber literatur sendiri. Dengan adanya uraian di atas peneliti
kemudian menempatkan sumber data penelitian
sebagai sumber data skunder sebab berorientasi pada sumber literatur dan
bentuk sejenis.
Hasil
dan Pembahasan
1. Profil Kabupaten Cirebon
Kabupaten Cirebon berada di batas akhir provinsi
Jawa Barat. Kabupaten ini menjadi pembatas antara Jawa Barat dan Jawa Tengah.
Secara geografis kabupaten ini terbilang lengkap, mulai dari perbukinan di
wilayah Sumber, Palimanan dan Dukuh Puntang hingga dataran rendah yang berada
di wilayah Mundu hingga daerah Gunung Jati sampai perbatasan Indramayu.
Populasi penduduk per 2015 tercatat sekitar
2.126.179 jiwa dengan rata-rata kepadatan sekitar 21/km2. Rata-rata
penduduk Kabupaten Cirebon bekerja sebagai petani, nelayan, wiraswasta, buruh
hinga wirausaha. Sebaran angkata kerja di Kabupaten Cirebon cenderung tidak
ideal. Masyarakat Cirebon umumnya akan pergi ke luar kota untuk mencari
pekerjaan dan penghidupan yang dinilai lebih layak. Sedang kondisi lapangan
kerja di Kabupaten Cirebon sendiri cenderung sedikit dan kian hari kian
menyimpet. Kendati telah banyak dibuka perusahaan dan pabrik baru di Cirebon,
kondisi ini tidak banyak membantu.
Kondisi Upah Minimum Regional yang dinilai rendah
menjadi alasan kenapa masyarakat Cirebon berpindah dan pergi dari daerah
asalnya. Upah Minimum Regionalatau yang kemudian disebut UMRKabupaten Cirebon
hanya berada di angka 1,8 juta per tahun 2018. Jumlah tersebut bahkan
setengahnya UMR DKI Jakarta yang telah mencapai 3,8 juta. Sehingga, oleh karena
alasan tersebut, banyak penduduk angkatan kerja Kabupaten Cirebon yang memilih
bekerja di luar Cirebon untuk mencari penghidupan yang lebih baik. Namun pada
nyatanya ketentuan pekerjaan yang mengikat angkatan kerja dengan kontrak
membuat penduduk kelimpungan saat kontrak habis atau tidak diperpanjang. Di
sisi lain, batas usia maksimal kontrak yang kian hari kian menurun menjadi
alasan kenapa banyak penduduk pulang kampung ke daerahnya, termasuk pula mereka
yang menjadi penduduk Kabupaten Cirebon.
Pada kondisi ini penduduk yang telah masuk usia
maksimal pabrik akan kesulitan mencari kerja di pabrik benefit dan memilih ke
perusahaan yang lebih kecil dan mau menerima dengan batasan usia yang lebih
tinggi. Akan tetapi, ketersediaan lapangan kerja menuntut mereka untuk
bersabar, bahkan hingga menjadi pengangguran untuk beberapa saat.
Hasil dari pengamatan peneliti, mereka yang telah
selesaidalam artian selesai kontrak dan telah masuk usia maksimal buruhtidak
mempunyai keterampilan lebih yang dapat membantu mereka mendapat pekerjaan
baru.
2. Pengoptimalan Manajemen Sumber Daya
Manusia (MSDM) di Lingkup Pemerintah Daerah
Di banyak instansi pemerintah telah banyak terbentuk
lembaga dan/atau departemen dengan bidang yang berbeda-beda. Akan tetapi, pada
pelaksanaannya, perbedaan bidang tersebut justru membuat fokus lembaga lebih
merujuk pada urusan internal masing-masing dan tidak mengarah pada kepentingan
publik (Sir John Maud: 1967). Lebih lanjut menurut Maud, kondisi demikian
kemudian membuahkan defisiensi yang amat terlihat dan mengganggu peran instansi
publik itu sendiri.
Di samping berfokus pada urusan dalam organisasi dan
tidak mengacuhkan kepentingan orang banyak, instansi pemerintahan terkadang
menyepelekan pengembangan sumber daya manusia di daerah.
Pengembangan sumber daya manusia sendiri tidak hanya
berada di lingkup pengetahuan, namun juga keterampilan, bakat, kebisaan, hingga
kemampuan menciptakan suatu produk. Dalam pengembanganya telah banyak teori
yang digunakan untuk mengembangkan sumber daya ini. Namun pada tulisan ini
penulis akan lebih menjabarkan teori dan/atau metode Competency-Based Training (CBT). Metode tersebut memungkinkan
masyarakat untuk mengembangkan bakat dan keterampilan berfokus. Dengan kata
lain, orientasi dari pengembangan ini adalah penanaman dan/atau peningkatan
bakat pada satu bidang tertentu. Dengan penanaman ini masyarakat diharapkan
lebih fokus dan lebih menguasai bidang yang dipilihnya.
Titik pusat dari pelatihan ini adalah menghindari
proses yang sia-sia dan tidak menghasilkan. Artinya, dalam pelaksanaan
pelatihan nanti, peserta hanya akan diajarkan pada hal-hal yang dianggap perlu
dipelajari. Di samping itu, pada pelatihan ini, peserta juga tidak terikat pada
aturan dan proses pelatihan formal yang kurang memberi dampak baik.
Pola pelatihan CBT sendiri tidak hanya diterapkan di
Indonesia, namun juga di banyak negara dunia. Salah satu negara yang telah
menerapkan pelatihan ini dan berhasil adalah Australia. Proses pelatihan yang
digalakan di Australia membuahkan pembangunan daerah yang terbilang pesat. Di
samping pembangunan pesat, sumber daya manusia di negara itu pun terampil dalam
bidangnya masing-masing (Irianto: 2001).
Berkaca dari apa yang telah dijabarkan di atas,
Kabupaten Cirebon harus sejak dini menanamkan pelatihan yang berfokus pada satu
bidang yang diminati. Bidang itu pun tidak hanya berorientasi untuk memberikan
pekerjaan, namun juga bagaimana bidang tersebut dapat membuka lapangan
pekerjaan, baik untuk diri mereka maupun mereka yang baru awal belajar. Lebih
lanjut, jika menilik potensi Kabupaten Cirebon, dan dengan didukung
perkembangan teknologi yang sedemikian pesat, pengembangan sebagaimana yang
telah dijabarkan di atas harusnya telah memberi dampak baik pada perkembangan
Kabupaten Cirebon nanti.
Jika berkaca dari pelatihan yang telah lalu,
Kabupaten Cirebon sendiri telah menggalangkan pelatihan yang serupa. Hanya
saja, pada penerapannya, pelatihan tersebut hanya untuk mencari pekerjaan di
luar Cirebon.
Badan Latihan Kerjaatau yang kemudian disebut
BLKadalah contoh nyata bahwa pemerintah telah memulai pengembangan sumber daya
dengan satu fokus bidang. Namun pada praktiknya peserta tidak benar-benar
diterjunkan pada situasi pekerjaan. Banyak instruktur yang hanya memberikan
materi tanpa praktik lapangan sehingga memperkecil pengalaman peserta latihan
kerja. Di samping itu, dari apa yang penulis ketahui, mayoritas peserta hanya
berfokus pada infomasi lowongan dan uang transportasi. Mayoritas peserta BLK
cenderung ingin mengetahui informasi lowongan di sana dibanding belajar materi
yang diajarkan. Sebab, di samping memberi latihan kerja, BLK juga menyediakan
pusat informasi yang berisi lowongan kerja.
Di samping hanya berorientasi pada pusat informasi,
beberapa peserta juga memfokuskan diri pada uang transportasi yang diperoleh
peserta. Sebagaimana diketahui, badan latihan kerja sendiri menyiapkan uang
transportasi pada para peserta aktif dan dalam proses latihan. Keberadaan dana tersebut
pada dasarnya untuk memudahkan peserta dalam belajar. Namun nyatanya, kondisi
demikian dimanfaatkan untuk kepentingan yang tidak dewasa.
Jika berkaca pada metode BCT Kabupaten Cirebon dapat
memperbaharui program BLK agar lebih berfokus pada praktik meningat apa yang
disampaikan adalah materi teknis yang akan lebih mudah diserap apabila
dilaksanakan dengan kegiatan praktik dibanding materi. Di sisi lain, Kabupaten
Cirebon juga dapat memperbaharui sistem belajar dengan menempatkan peserta BLK
pada instansi-instansi swasta yang telah bekerja sama dengan pemerintah
kabupaten. Di instansi tersebut peserta akan magang dan menerapkan apa yang Ia
dapatkan di BLK.
3. Peran serta Masyarakat dalam
Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia dan Pengentasan Pengangguran
Dalam pengembangan sumber daya manusia berbasis
masyarakat, masyarakat memiliki andil lebih dalam menciptakan dan/atau
menggerakan program pengembangan tersebut. Dengan dibantu oleh pemerintah
daerah, masyarakat dapat menciptakan pelatihan yang membantu saudara, tetangga
atau masyarakat sekitarnya dalam meningkatkan kualitas diri.
Dalam kasus pengembangan seperti ini, masyarakat
memiliki pandangan yang lebih luas dibanding pemerintah daerah, mengingat
masyarakatlah yang mengetahui medan dan kebutuhan daerah.
Pada ranah pengentasan pengangguran dan peningkatan
kualitas sumber daya manusia, masyarakat akan dimudahkan dengan adanya dana
pemerintah. Di samping itu, masyarakat juga dapat memanfaatkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) yang
disediakan oleh banyak perusahaan.
Pada banyak kasus di lapangan, di samping
permasalahan ketidakadaan lapangan pekerjaan, kesenjangan pengetahuan dan
keterampilan juga menjadi faktor membludaknya pengangguran di Kabupeten
Cirebon. Oleh karena hal tersebut, dalam upaya mengentaskan pengangguran dan
meningkatkan kualitas sumber daya, masyarakat dapat secara bersama-sama
melakukan transfer ilmu dan keterampilan pada sesama. Jika kemudian ada kendala
biaya dan sejenisnya, masyarakat diperbolehkan mengajukan promosal permohonan
bantuan dana pada instansi-instansi swasta dengan anggapan mereka dapat
mengeluarkan dana CSR dan instansi pemerintah dengan anggapan tujuan
dilaksanakannya kegiatan tersebut sama dengan apa yang diinginkan pemerintah
untuk mewujudkan kualitas SDM yang unggul dan kompeten.
Dalam bahasan yang lebih luas, sebagaimana yang
diutarakan BS Sismenas (2007: 4), masyarakat, lembaga pemerintah, swasta dan
organisasi kemasyarakatan dapat bersinerga untuk mewujudkan kualitas SDM yang
diharapkan. Adapun contoh aplikatif dari perpaduan elemen-elemen tersebut
adalah sebagai berikut:
Kesimpulan
Pengentasan
pengangguran adalah sesuatu yang tidak bisa dilakukan dengan mudah. Perlu upaya
ekstra dan kerja sama antarlini untuk menyelesaikan masalah yang telah mendarah
daging di Indonesia ini. Peningkatan kualitas SDM berbasis masyarakat adalah
satu dari sekian cara yang dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah
pengangguran yang menjerat negeri ini. Masalah pengangguranjika berorientasi
pada progam inidapat dientaskan dengan pengadaan kursus dan/atau latihan yang
berorientasi pada praktik lapangan. Materi yang disampaikannya pun haruslah
materi praktik, bukan lagi teori. Proses pengadaan latihan tersebut dapat
dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun masyarakat. Andai jika proses
tersebut digalangkan oleh masyarakat, masyarakat dapat meminta bantuan pada
instansi pemerintah maupun swasta guna mendapat bantuan dana.
BIBLIOGRAFI
Andrian, Irianto. 2001. Panduan Pengembangan Organisasi. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
BS Sismennas. 2007. Implementasi Sismennas dalam Pembangunan Daerah. Jakarta: Lemhanas.
Kabar
Cirebon. 2017. Angka Pengangguran di
Kabupaten Cirebon Meningkat. Disudur pada tanggal
19 April 2017. Sumber dari: http://www.kabar-cirebon.com/2017/04/angka-pengangguran-di-kabupaten-cirebon-meningkat/.
Mantra,
Ida Bagoes. 2003. Demografi Umum. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Muana,
Nanga. 2001. Makro Ekonomi: Teori,
Masalah dan Kebijakan. Edisi Perdana. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Murni,
Asfia. 2006. Ekonomi Makro. Jakarta:
PT Refika Aditama.
Poespowardojo,
Soejanto. 2007. Peran Pancasila dalam
Pembangunan Nasional. Jakarta: Lemhanas.
Sugiyono. 2011. Metodologi Penelitian Kuantitatif,
Kualitatif dan R&D. Bandung:
Alfabeta.
Sukirno,
Sadono. 2000. Pengantar Teori Mikro
Ekonomi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.